Jumat, 09 Desember 2016

Membuat Kerajinan Tangan Strimin

Hallo Sahabat...!!!


Apa kabar semua..?
Lama tak mengisi blog ini, dikarenakan ada sedikit kendala.. Hmmm.. Aku harap semua baik-baik saja yaa..

Oya.. Kali ini aku ingin berbagi sedikit info tentang sebuah karya. Di sini aku akan membahas tentang kerajinan tangan Strimin atau disebut juga dengan Crossstitch atau Kristik atau Kruistik. Hmmm.. Banyak ya, namanya.. Hehe..

Masih ingat nggak, sama kerajinan tangan yang satu ini? Dulu, waktu masih di zaman Sekolah Dasar, kita sering kali diharuskan untuk membuat sebuah karya didalam salah satu mata pelajaran sekolah. Terkadang membuat anyaman, boneka unyil, menyulam dan masih banyak lagi yang lainnya. Nah, salah satunya adalah kerajinan tangan strimin. Strimin ini dalam pembuatannya merupakan jahit menjahit, tapi menjahit di sini dengan menggunakan tusuk silang (×).

Seperti ini nih, contohnya..

Tusuk Silang

Nah, untuk membuat strimin ini dibutuhkan kain strimin, benang, jarum, gunting dan pastinya pola yang akan kita buat.

Kain strimin ini sudah khusus untuk membuat strimin, karena kain ini sudah berlubang dengan bentuk kotak-kotak kecil. Kain ini ada yang terbuat dari plastik dan ada yang dari bahan. Dulu, waktu aku pertama kali membuat strimin, aku menggunakan yang dari plastik. Tahu, nggak? Kawat nyamuk atau yang kita pakai di ventilasi udara, seperti itulah kira-kira bentuknya. Karena terbuat dari plastik kain strimin ini lebih kaku ketimbang yang terbuat dari bahan.

Setelah itu aku membuat strimin lagi, tapi menggunakan kain yang terbuat dari bahan. Menurut info yang aku dapat, untuk nama bahan dan jumlah atau ukuran kotak kain strimin itu sebenarnya ada banyak. Tapi, karena aku lebih sering menemukan kain strimin yang seperti ini

Kain Strimin. Gambar diambil dari jarak jauh.

Dari jarak dekat.

Dari jarak lebih dekat.

Maka aku lebih sering menggunakan yang ini.

Dan untuk benangnya, aku menggunakan benang wol. Mungkin ada juga yang menggunakan benang selain benang wol, tapi kalau aku pribadi, menggunakan benang wol.

Untuk jarumnya juga sudah khusus untuk strimin, jarum strimin ini memiliki lubang yang besar dan ujungnya tidak tajam seperti jarum yang lain.

Jarum strimin


Cara membuat strimin ini, menurut pengalaman yang aku dapat, aku membuatnya dengan menghitung 3 kotak.


Cara Membuat Strimin

Masukkan benang ke dalam jarum, potong benang sesuai kebutuhan. Tarik ujung benang satu sisi lebih pendek dan satu sisi lebih panjang dan tak perlu diikat karena kalau diikat khawatir nanti ikatan akan lepas atau keluar dari lubang kain strimin saat dibuat.


Lalu tusuk lubang dari belakang kain


Tarik benang lalu biarkan benang tetap ada di belakang, yaa kurang lebih sekitar 1 atau 2 cm, ini dimaksudkan untuk mengikat benang.

Benang dari sisi belakang

Lalu hitung kotak dari awal benang, 3 kotak ke samping dan 3 kotak ke bawah, setelah itu bawa benang ke kotak paling akhir dan tusuk ke bawah. Maka akan membentuk setengah silang.

Tusuk setengah silang

Selanjutnya, bawa benang ke atas kembali, ke kotak ketiga dari belakang, tapi jangan lupa untuk menindih benang yang ada di belakang. Jadi, benang yang kita sedang pakai, berada di atas benang tersebut. Nah, seperti itulah cara mengikat benang strimin ini.

Mengikat benang di sisi belakang

Kemudian bawa benang ke bawah dengan menghitung 3 kotak kembali di sisi sebelahnya. Maka akan terbentuklah tusuk silang. Seperti ini

Tusuk silang

Jadi deh, tusuk silang strimin.


Nah, pastinya kita akan membuat strimin secara utuh, maksudnya sesuai dengan pola, pasti akan ada banyak tusuk silang yang dibutuhkan.

Lakukan langkah-langkah seperti yang sudah aku jelaskan tadi sampai membentuk setengah silang, karena kita membutuhkan banyak tusuk silang maka kita bisa mengulang membuat tusuk setengah silangnya terlebih dahulu sesuai berapa banyak tusuk silang yang dibutuhkan dalam satu baris, ini bertujuan untuk memudahkan kita dalam membuatnya dan untuk menghemat benang juga. Hehe..


Setelah itu, kita buat setengah silang di sisi sebelahnya, maka akan membentuk silang utuh


Jadi, deh...
Buat terus seperti itu, sampai dengan selesai, sesuai dengan pola yang ada.


Mudah, nggak? Mudah siihh..
Tapi memang diakui, membuat kerajinan tangan strimin ini dibutuhkan ketelitian dan kejelian mata.. Hehee.. Karena kita harus teliti menghitung dan jeli melihat kotaknya, secara kotaknya itu kecil-kecil.. Hahaa...

Hmm.. Bagi siapa saja yang ingin mencobanya, silahkan..

Dan ini adalah salah satu hasil karyaku dengan pola sendiri, walaupun masih kurang rapi siihhh alias masih minim efek.. Hehehe... Tapi nggak apa-apa yaa.. Namanya juga kan, mencoba membuat karya..

Dan dengan bersusah payah, berimajinasi dalam membuat pola ditambah dengan teknik dalam membuat strimin.. Fiuuuhhhh... Akhirnya... selesai juga.. Yeeeyyyyy... !!!

Hasil karya striminku

Kerajinan tangan strimin ini tidak hanya untuk hiasan dinding lho.. Bisa untuk hiasan lain. Dan aku mengkreasikannya dengan membuat bros.


Baiklah, Sahabat..
Itulah sedikit info tentang kerajinan tangan strimin. Semoga membantu dan bermanfaat yaa.. Dan selamat mencoba bagi yang ingin mencoba..



*Smile and Love

Sabtu, 19 November 2016

Rasa tentang Kita

Aku seorang Rani yang sangat sederhana, mencintai seseorang yang begitu istimewa bagiku. Seseorang yang telah menjadi kekasihku saat ini. Sungguh kebahagiaan yang luar biasa yang tak pernah aku rasa sebelumnya.

"Ayo, Dik!" ajak Mas Niko kepadaku.

'Dik' begitulah ia memanggil diriku, tak pernah ia memanggil dengan hanya menyebut namaku saja. Entah karena ia memang terbiasa seperti itu jika memanggil lawan bicaranya atau untuk saling menghormati. Hmmm, entahlah.

Pernah suatu ketika, ia bilang kepadaku kalau ia lebih suka jika aku memanggilnya dengan sebutan 'Mas' daripada 'Kakak'. Yaa, aku juga sadar bahwa ia adalah keturunan Jawa dan sejak saat itu aku selalu memanggilnya dengan sebutan 'Mas'.

Dengan sigap ia meraih tanganku, menyebrang jalan raya ini. Lalu lalang kendaraan dan suara bising menambah riuhnya keadaan.

"Kita naik kendaraan itu ya, Dik," jelas Mas Niko sambil menunjuk salah satu kendaraan umum.

"Iya, Mas," jawabku singkat sambil melangkahkan kaki untuk naik kendaraan umum itu bersamanya.

Akhirnya duduklah kami berdua. Dan aku duduk di sebelah kirinya.

"Dik, Mas ada baju buat Adik, produksi sendiri dari tempat pekerjaan Mas. Tapi ukurannya kira-kira cukup nggak, ya? Karena memang cuma ada ukuran itu."

"O ya!" jawabku dengan gembira juga haru.

"Nanti Mas kasih ke Adik, biar Adik lihat."

"Iya, Mas."

Perjalanan ini membawa kami ke berbagai macam percakapan. Hingga tak terasa kami telah tiba di tempat tujuan kami.

Secangkir kopi dan secangkir teh menemani kami berdua.

"Oh iya, ini bajunya, Dik," ucap Mas Niko sambil mengeluarkan sesuatu yang transparan tercantum merk pakaian itu yang membungkus pakaian berwarna biru muda yang terlihat dari luar, "Mas ingin Adik pakai ini, tapi kalau nggak suka, ya nggak apa-apa, nggak usah dipakai ya, Dik," tambahnya.

Perlahan aku membukanya dan terlihat jelas di depan mataku, ini adalah sebuah kemeja berwarna biru muda. Aku suka sekali kemeja. Dan ini tampak sederhana dan elegan menurutku.

"Wah, Mas… kemejanya bagus banget, aku suka!"

"Benaran kamu suka?"

"Benar, Mas."

Aku terus memandangi kemeja ini.

"Mas… makasih banyak, ya."

"Iya, Dik, sama-sama, semoga ukurannya juga cukup."

Dengan sangat gembira, aku pulang menuju rumah. Sesampainya di rumah aku langsung membuka kemeja itu dan mencobanya. Sungguh, aku sangat suka dengan kemejanya. Warnanya juga lembut dan bahannya sangat nyaman dipakai.

Beberapa kali aku pakai kemeja itu dan selalu teringat akan dirinya.

Hari libur kembali tiba. Aku bersiap-siap untuk bertemu dengannya kembali, mengenakan pakaian yang pernah ia berikan kepadaku.

Detik demi detik pun berlalu. Dan rasa rindu ini akan segera terobati.

"Dik!" sapa Mas Niko ketika bertemu denganku.

"Iya, Mas."

"Udah lama nunggu ya, Dik?"

"Nggak kok, Mas."

Seperti biasa secangkir kopi dan teh menemani kami berdua.

"Dik, kok melamun?" tanya Mas Niko sembari menepuk lenganku.

Seketika aku terkejut, suara dan sentuhannya menyadarkanku dalam lamunan.

"Ehh! Kenapa Mas?"

"Kenapa kok melamun?"

"Oh… nggak apa-apa kok, Mas," jawabku singkat dengan senyum resah.

"Ooh, ya udah. Diminum lagi tuh, Dik."

"Iya, Mas."

Aku masih menyembunyikan semua hal tentang itu. Hal yang sungguh membuatku merasa tak berdaya.

Rani, pikirkan baik-baik tentang hal itu, kata-kata itu yang selalu bermain di pikiranku, pesan penting orangtuaku untuk hubunganku ini.

Mas Niko menuangkan kembali teh ke dalam cangkirku. Aku menatapnya dalam-dalam, bukan karena teh yang sedang dituangnya kembali, yang setengah dari teh di cangkir itu telah sukses menjalankan tugasnya untuk menghilangkan dahagaku. Tapi melihatnya di hadapanku, aku merasa begitu tenang. Entah karena apa?

Pesonanya memang memikat hatiku sejak aku mengenalnya. Ketika itu, saat pertama kali aku bertemu dengannya, jalan bersama, bersenda gurau. Semuanya sungguh membuatku terhanyut, aku jatuh hati padanya.

Saat ini, dengan penuh semangat ia bercerita tentang pengalamannya saat bekerja sama dengan seseorang untuk membangun sebuah usaha. Tapi aku tak benar-benar mendengarkannya, karena aku telah membiarkan hal tentang itu larut dalam perasaanku, bercampur menjadi sebuah kesatuan yang telah menang memenuhi pikiranku.

"Mas… aku mau… mau ngomong sesuatu."

"Iya, Dik, mau ngomong apa? ngomong aja."

Masih aku tak kuasa untuk berbicara, air bening mulai jatuh membasahi pipiku.

Adik kenapa??? Kok, nangis??" tanya Mas Niko penuh heran.

"Aku… aku…."

Air mata ini terus mengalir, aku mencoba mengusapnya dengan cepat, tapi lagi dan lagi pipi ini basah karenanya.

"Dik, ada apa??? Jangan nangis, Dik. Ada apa sebenarnya??" desak Mas Niko.

"Mmm… maafkan aku, Mas… aku tak bisa melanjutkan hubungan kita, orangtuaku tak setuju dengan hubungan ini."

Sambil aku terus mengusap air mataku.

"Ooh…," jawabnya dengan nada melemah.

Aku menjelaskan alasan mengapa orangtuaku tak setuju.

Tak ada semangat di dirinya, ia lalu melanjutkan perkataannya, "Ya udah, kalau itu memang keputusan Adik dan orangtua Adik, Mas nggak bisa maksa… dari sisi Mas juga orangtua Mas menginginkan yang Jawa juga."

"Tapi… jujur Mas, aku masih sayang banget sama Mas."

"Sama, Dik."

Air mata ini masih terus membasahi pipiku. Dan terasa jari Mas Niko mendarat di pipiku. Mas Niko mengusap air mataku.

"Udah, jangan nangis lagi, ya. Mas jadi ikutan sedih, Mas paling nggak bisa lihat perempuan nangis." Sambil terus mengusap air mataku.

Aku hanya terdiam. Dan menatapnya dalam-dalam.

Terlihat Mas Niko sedang berpikir jauh, pikirannya menerawang.

"Iya, jadi ingat, saat kita ketemu, Adik menghampiri Mas, mengikuti Mas dari belakang, menemani Mas walaupun Adik cuma diam aja, nggak berbuat apa-apa…."
Ada senyum tersungging di bibirnya.

Tapi aku lihat air bening menetes membasahi pipinya. Aku terkejut, "Mas!?"

Aku mencoba meraihnya. "Mas, jangan nangis, maafkan aku Mas, aku nggak akan nangis lagi," ucapku lirih.

Aku mengusap air matanya yang telah membasahi pipinya.

"Mas, jangan nangis."

Ia meraih tanganku yang sedang mengusap pipinya.

"Dik…." Suaranya semakin melemah. "Ahh, ya udahlah, Dik." Sambil terus mengedipkan matanya berusaha untuk menghilangkan air mata dan kesedihannya.

"Maafkan Mas, ya?"

"Aku yang minta maaf, Mas."

Mas Niko terdiam sejenak dengan raut wajah yang sangat terlihat dipenuhi dengan pikiran.

"Hmmmm… ya udah, kita sekarang berteman baik aja. Ya, Dik?"

Aku masih belum bisa menjawab, pikiranku campur aduk, kalau masih bisa aku memilih, aku tak ingin melewati semua ini. Dan dengan sangat berat aku harus mengatakan 'Iya'.

"Iya, Mas… makasih, masih mau menjadi teman aku."

Cuaca di luar seakan sama dengan perasaanku. Awan hitam mulai datang dan siap meneteskan airnya. Aku berusaha menahan air mata ini. Melawan kesedihan yang telah merajai diriku.




"Dik, kayaknya mau hujan, kita pulang, yuk!"

"Iya, Mas, udah gelap banget."

Aku pun bersiap-siap dan Mas Niko menyalakan motornya. Dengan cepat kami melaju, namun seketika hujan turun dengan derasnya. Langsung Mas Niko membawa motornya menepi untuk berteduh.

"Yah, hujan, Dik."

"Iya."

"Kita tunggu hujan reda dulu, ya?"

"Iya, Mas."

Hujan yang turun disertai dengan petir. Kilatnya terlihat jelas di langit, sampai terlihat dekat dengan kami.

"Duh," ucap Mas Niko sambil memalingkan wajahnya ketika cahaya kilat terlihat dekat. "Dik, Adik di sini deh, pindah. Biar Mas di situ, biar Adik nggak terlalu kena kilatnya," pinta Mas Niko kepadaku.

"Iya."

Kami kemudian berganti posisi. Sekarang Mas Niko berada di sebelah kiriku.

Hujan yang membasahi bumi, membentuk aliran air di sepanjang jalan. Kilat masih terus menemani hujan.

Mas Niko yang sedang berada di sampingku, yang hanya tinggal beberapa waktu saja akan menghilang dari sisiku. Hanya menunggu waktu yang aku harapkan berjalan lambat, memberikan izinku untuk bisa merasakan dirinya bersamaku, sekali lagi.

Udara dingin memeluk tubuh ini. Seperti hatiku yang sedang membeku.

Tetesan air hujan mulai berkurang.

"Dik, jalan lagi, yuk!"

"Iya Mas, udah agak reda."

Kami melanjutkan perjalanan kembali. Aku mulai memegangnya lagi dari belakang dan sedikit memeluk dirinya dengan penuh harap pelukan ini akan kembali aku dapatkan.

Perjalanan ini sunguh membuatku beku tak berdaya. Hanya saat ini aku masih bisa melihatnya di hadapanku, sudah cukup membuatku tenang.

Hingga tak terasa, perjalanan yang memakan banyak waktu, terasa sangat singkat bagiku saat ini. Lalu aku turun dari motornya.

"Dik, Mas cuma bisa antar kamu sampai sini aja, ya."

"Iya, nggak apa-apa."

Aku tertunduk pilu.

"Adik jaga diri, ya. Maafkan semua kesalahan Mas."

Berusaha kuat aku menahan, perlahan aku tatap dirinya.

"Iya, sama-sama, Mas. Aku juga minta maaf."

Sangat dalam aku menatap dirinya. Wajah yang selama ini menghiasi hari-hariku, akan menghilang.

"Ya udah, Adik hati-hati. Mas pamit ya, Dik."

"Iya, Mas."

Ia mulai mengendalikan motornya balik arah. Dan aku mulai melangkahkan kaki, sangat berat aku rasa, tak ada tenaga, tubuhku terasa lemah dan kaku. Dengan penuh aku berharap waktu berhenti agar aku bisa terus melihat dan bersamanya lagi.

Aku menoleh ke belakang, dan tak aku dapati dirinya. Jauh sudah pergi, menghilang dalam pandangan yang juga menghilang dari sisiku. Ia telah pergi dengan membawa kisah cinta kita berdua.

Dan masih aku bertahan melawan kesedihan ini.

Biar aku simpan semua dalam ingatan dan kenangan cinta kita. Tak akan pernah aku lupakan semua yang pernah ada…


***


*Smile and Love

Jumat, 18 November 2016

Setiap Manusia




Manusia adalah ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan manusia dengan akal dan pikiran. Tuhan menciptakan manusia dengan rupa yang berbeda-beda. Ada yang berwajah bulat, ada yang berkulit putih, ada yang bermata sipit. Manusia juga memiliki sifat atau karakteristik tertentu.

Setiap manusia pasti mempunyai sisi baik. Ya.. Aku percaya karena pada dasarnya manusia adalah baik. Hanya saja sifat, pola pikir atau didikan sejak kecil dan lingkungan dapat mempengaruhinya.

Setiap manusia itu pasti punya kemampuan. Setiap manusia itu pintar. Setiap manusia itu cerdas. Setiap manusia itu pandai. Aku yakin itu.. Bahkan yang mungkin kita anggap ia adalah siswa atau siswi yang kurang disiplin pada masa sekolahnya dahulu. Sering tidak masuk sekolah, sering keluar dalam pelajaran sekolah tanpa izin, sering tidak mengerjakan tugas. Tapi justru mereka bisa sukses pada saat ini dan mugkin mengalahkan teman-temannya yang lain saat di sekolah yang sama dahulu. Dan ketika nilai dalam mata pelajaran dahulu di sekolah tidak mendapat nilai yang bagus atau dalam arti kurang berprestasi di sekolahnya. Tapi dalam menghadapi suatu hal atau masalah dalam kehidupannya. Ia tahu, ia mengerti apa yang seharusnya ia lakukan. Tindakan yang bijak yang pada akhirnya mengeluarkan ia dalam suatu masalah. Mengapa demikian? Karena...... Pada dasarnya manusia itu pintar.. Manusia itu baik.. Tuhan telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan. Dan aku yakin Tuhan menciptakan kita bukan dengan sia-sia. Ada maksud yang terdapat di dalamnya. Namun, untuk dapat menemukan itu, memang terkadang tidak mudah. Tapi, coba perhatikan, setiap apa pun itu pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, bukan? Begitu pun juga dengan manusia. Kita diciptakan dengan beberapa kekurangan berikut juga dengan kelebihannya. Dalam diri manusia ada 'sesuatu' di dalamnya. Yang mungkin bisa berbeda, dari setiap individu. Ada yang ahli dalam satu bidang, tapi mungkin lemah dalam bidang lain. Tapi bukan berarti, jika kelemahan dalam satu bidang, maka ia lemah dalam semua bidang. Aku yakin, selalu ada 'sesuatu' di dalamnya. Sebagai contoh, ada yang ahli dalam bidang seni, ada juga yang ahli dalam bidang olahraga dan lain-lainnya.

Setiap manusia pasti punya kemampuan dan rasa tanggung jawab. Ya, walaupun semua itu tergantung pada diri masing-masing, karena setiap individu itu berbeda-beda. Walaupun berbeda-beda, tapi kita sebaiknya tidak memandang sebelah mata orang lain. Dan kita tidak pernah tahu, bisa jadi orang yang kita anggap buruk tapi justru lebih baik dari kita. Jangan pernah mengambil kesimpulan atau membuat pernyataan sendiri tanpa melihat kebenarannya terlebih dahulu. Jangan pernah melihat orang lain dari penampilan luarnya saja.

Ayo,  kita lebih berpikir positif. Lebih bijak dalam memandang suatu hal. Karena kita adalah manusia. Yang telah diciptakan oleh Tuhan dengan sangat istimewa..



Hmm.. Semoga bermanfaat..


*Smile and Love

Rabu, 02 November 2016

Mengambil Keunikan Hujan di Taman Margasatwa Ragunan

Pagi ini mentari muncul tanpa malu-malu, sinarnya begitu cerah menerangi pagi. Mentari seakan tersenyum dan menyapa kepada semua ciptaan Tuhan. Cahaya yang begitu indah menembus celah dedaunan. Langit biru membentang. Burung-burung bersahutan, terbang lalu hinggap dari satu dahan ke dahan yang lain.

Cahaya mentari menghangatkan tubuh ini yang sedang asyik menikmati jalan-jalan pagi bersama si kecil imut dan lucu, putri dari Saudari kembarku, juga bersama Kakak perempuanku dan putrinya.

Pagi ini kami sekeluarga mempunyai rencana untuk pergi tamasya ke Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Melihat cahaya mentari yang begitu cerah, kemudian kami pun bersiap-siap untuk berangkat ke sana. Setelah beberapa jam perjalanan, kami pun tiba di tempat tujuan kami, Taman Margasatwa Ragunan.

"Sampai deh kita, ayo.. nanti kita lihat gajah, jerapah," berkatalah kita semua kepada si kecil.

"Ternyata ramai juga ya, banyak pengunjungnya hari ini," kataku pada diriku sendiri.


Taman Margasatwa Ragunan atau Kebun Binatang ini merupakan kebun binatang pertama yang ada di Indonesia, yang didirikan pada tahun 1864 di Batavia, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Dan pada tahun 1964 Taman Margasatwa ini dipindahkan ke kawasan Pasar Minggu Ragunan, Jakarta Selatan. Taman Margasatwa ini memiliki luas 140 hektar.

Untuk tiket masuk Taman Margasatwa ini adalah Rp. 4.000,- untuk dewasa dan untuk anak-anak Rp. 3.000,- juga untuk asuransi dikenakan biaya Rp. 500,-
Yap, cukup terjangkau, ya. Kita tidak hanya dapat menikmati sejuknya udara di sini dengan pemandangan indah yang berhiaskan pepohonan, tapi kita juga bisa mendapatkan ilmu pengetahuan tentang dunia satwa. Nah, berhubung usia keponakanku masih di bawah 3 tahun, maka tidak memerlukan tiket. Dan...... akhirnya, masuklah kami semua.

Di sini banyak para pedagang, ada yang berdagang makanan, minuman, souvenir dan lain-lain. Dan yang paling banyak di cari adalah alas untuk duduk, semacam tikar gitu. Banyak yang menjajakannya dan pastinya kami ikut beli juga, hehehe. Di Taman Margasatwa Ragunan ini terdapat area permainan anak, kereta wisata, delman, Pusat Primata Schmutzer dan masih banyak lagi yang tersedia di sini.

Sejauh mata ini memandang, terlihatlah seekor gajah besar dan lainnya yang masih kecil. Kaki ini terus melangkah mendekati mereka yang amat lucu. Sampai deh, di rumah gajah. Waah, keponakanku senang banget bisa lihat gajah secara dekat. Sepertinya mereka menikmati, meski awalnya mereka agak takut karena memang baru pertama kali melihat gajah secara langsung. Tahu, kan? Gajah itu binatang yang besar banget dan punya belalai yang panjang. Hehehe...

Beberapa saat melihat gajah dan rusa, kami pun mencari tempat makan untuk makan siang. Eits.. Tunggu dulu, sebelumnya kami sudah membeli makanan di luar. Hanya saja sekarang kita akan mencari tempat yang unik, tempat di mana kita bisa makan di atas rumput dan di bawah pohon. Haha.. Seru deh, makan di tempat kayak gini. Dengan beberapa kali kami melirik tempat, akhirnya kami dapat juga. Yeaaayy...!!!

Tapi langit tak lagi biru, awan hitam menghalangi, seakan mentari tak lagi tersenyum. Dengan segenap rasa cemas akan turunnya air hujan, kami pun makan dengan tergesa-gesa.

Tik..!

Mulailah awan hitam meneteskan airnya. Makan siang pun selesai dan segeralah kami merapikan makan siang kami.

Dan seketika hujan turun dengan derasnya. Kami berlari menuju sebuah gedung untuk berteduh. Fiuuuh.. Basah juga deh, tapi untung sih, nggak banyak.. Hehe..
Dengan suara gemuruh kilat dan gemuruh alunan musik di dalam gedung. Kami pun perlahan memasuki gedung ini. Dan ternyata... Adik-adik kecil sedang menari di atas panggung. Ya, di sini sedang diadakan lomba menari tingkat TK-SD (Taman Kanak-kanak sampai dengan Sekolah Dasar) Sejabotabek. Adik-adik kecil dengan lincah menari tradisional Indonesia, mengeluarkan bakatnya di bidang kesenian. Hmmmm.. Entah mengapa aku senang banget kalau ada pentas seni kayak gini. Kami pun ikut menyaksikan mereka menari, berlenggak-lenggok di atas panggung, mengangkat kedua tangan, memainkan jentik jemarinya. Dan.. Oh ku lihat, keponakanku menggerak-gerakkan badannya juga, ikut menari.. Yeeeaahh.. Senangnya deh.. Hehee..



Dengan harap yang tak henti, semoga hujan segera reda. Hmmm... Coba bayangkan, kami yang belum lama sampai dan belum sempat melihat binatang yang lainnya, harus duduk berdiam diri di dalam gedung. Huufth... Karena tujuan kami ke sini adalah selain untuk refreshing tapi juga untuk menunjukkan pada si kecil tentang dunia satwa. Namun.. Detik demi detik pun berlalu dan ohh.. Hujan masih juga belum reda. Waktu hampir sore dan tak lama hujan pun reda, yaa walaupun masih gerimis siih.. Tapi kami berpikir untuk melanjutkan jelajah melihat satwa lainnya sambil berjalan menuju pintu keluar.

Dan tibalah di area permainan anak, di sana ada banyak permainan, ada permainan kereta, helikopter dan lain-lain. Tertariklah Kakakku untuk mengajak putri-putrinya. Dan tahu, nggak? Aku dan adikku juga ikut dengan mereka untuk naik permainan kereta.. Hahaha...
Di sini menggunakan koin untuk balita dan dewasa Rp. 5.000,- perkoin untuk setiap permainan. Jadilah aku, adik, kakak dan putrinya naik kereta, kereta mini pastinya. Hehee.. Seru deh, ada beberapa kali putaran untuk permainan ini. Dan akhirnya kereta mini pun berhenti. Aku dan adikku keluar, sedangkan kakakku dan putrinya masih lanjut bermain.

Yeehhhaaa, sekarang waktunya untuk mengabadikan momen ini. Tahu kan, yaaa? Apa yang aku maksud? Hihihihii... Dengan cari-cari tempat yang bagus dengan bermacam-macam gaya (walaupun kalau buat aku sih cuma bisa satu gaya, tapi nggak apa-apa, yang penting kan judulnya bergaya) Hahaha...

Kami pun kembali melanjutkan perjalanan ke pintu keluar, sambil sesekali mampir ke rumah-rumah satwa yang ada di sepanjang jalan arah keluar ini.

Kami kembali melakukan perjalanan untuk kembali pulang. Kami sangat bersyukur karena ketika turun hujan, kami dengan mudah mendapatkan tempat untuk berteduh, dengan aman tentunya dan satu hal yang penting, kami tidak hanya dapat melihat satwa (yaa.. walaupun nggak banyak sih, karena terbatas oleh waktu), tapi kami semua termasuk keponakanku bisa melihat pertunjukan tari, menyaksikan tarian dan mengajak si kecil bermain permainan. Hihii..
Dan satu lagi, Tuhan memberikan suguhan yang sangat indah, ketika kami hampir tiba di rumah, setelah tak lagi hujan, tampak sangat indah di langit.
Aku yakin semua tahu... Ya, kan? Apa yang terjadi setelah turun hujan?

Ya, pelangi!

Ada pelangi..! Sungguh luar biasa indah ciptaan Tuhan. Aku yang berkesempatan melihat pelangi, tak ingin rasanya pandangan ini berpaling. Ingin terus melihat dan melihat pelangi ini.. Lagi dan lagi...

Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberikan semua nikmat ini kepada hamba-Mu. Dan terima kasihku untuk keluargaku. Kakak dan semuanya.



***

Semoga bermanfaat yaa... 

*Smile and Love

Sabtu, 29 Oktober 2016

Sebuah Langkah


"Hai, sudah datang kamu, Vina. Belum dibuka, ya?"

Seperti biasa, Intan temanku menyapa di pagi hari saat aku sudah lebih dulu sampai di tempat yang sama untuk mengais rezeki.

"Iya, belum dibuka nih," jawabku padanya dengan tetap duduk sambil menunggu pintu gerbang dibuka.

"Huhft, kebiasaan deh, lama banget bukanya," kata Intan sambil mendekatiku untuk duduk di sampingku.

Detik demi detik pun berlalu. Matahari terus menampakkan sinarnya. Teriknya sang mentari membuat udara semakin panas. Kulitku pun terasa terbakar oleh sinarnya.

"Huhft … panaass … lama banget sih, cepat dong buka!?" Intan pun mengeluh saat sinar mentari ikut menyentuh kulitnya.

Aku hanya terdiam, tersenyum menatapnya. Satu per satu temanku yang lain pun datang. Dan dengan pertanyaan yang sama, karena pintu gerbang belum juga dibuka. Kami pun semua menunggu. Dengan tetap tenang, aku masih duduk dengan penantian ini. Walau di dalam hati aku merasa gelisah, karena kebiasaan burukku yang selalu merasa khawatir tentang apa yang akan terjadi nanti. Entah mengapa aku selalu seperti ini.

Intan sudah tak sabar, ia pun berjalan menuju tempat teman-teman yang lain berkumpul. Dan tak lama kemudian, datang seseorang yang sudah diberi tugas untuk memegang kunci.

Sambil berjalan tergesa-gesa ia berkata, "Aduh, maaf, ya. Sudah lama menunggu, ya?"

Pintu gerbang pun dibuka.

"Iya, kebiasaan, lama banget bukanya!" jawab Intan dengan jengkel.

"Iya maaf, karena aku juga banyak tugas yang lain."

Kami pun semua masuk. Memasuki ruangannya masing-masing. Huhft …saat-saat menegangkan akan dimulai, itulah perasaan yang selalu aku rasa. Entah sampai kapan akan berakhir. Dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu ada di kepalaku. Bagaimana ya, nanti? Apa yang akan terjadi nanti?

Dengan langkah kecilku menuju meja, aku letakkan tasku. Aku bersiap-siap untuk memulai pekerjaanku. Mengambil langkah awal untuk aku kerjakan lebih dulu sebelum memulai yang lainnya. Aku kerjakan dengan semampuku. Walau tidak lepas dari perasaan khawatir dan rasa bingung yang selalu ada dalam diriku.

"Vin, tolong tuliskan!"

Terdengar suara Intan sebagai kepala bagianku memberi perintah kepadaku.

"Iya," jawabku walau dengan tanda tanya dalam hati, lalu aku bertanya, "Tulis di mana? Untuk ditempel?"

Karena yang aku tahu menulis seperti yang ia perintahkan itu, ada banyak macamnya, tulis di buku tulis, tulis di atas kertas kecil untuk memberi kode untuk kemudian ditempel atau tulis di catatan lain.

Kemudian ia menjawab, "Iya, ditempel."

"Oh, iya baik."

Aku mulai menggoreskan spidol di atas kertas putih, kemudian aku tempel.

Kriiiing!

Telepon berdering, yang akhir-akhir ini selalu aku yang menerima, walaupun tujuannya bukan untukku, tapi untuk kepala bagianku. Aku tahu ini adalah bagian dari tugasku. Tapi aku merasa, ia seperti tidak bersemangat jika ada telepon. Hingga telepon itu dibiarkan terus berdering jika aku tidak mengangkatnya. Setelah aku menerima telepon itu dan kemudian ia berbicara kepada penelepon itu.

"Vin, barang kode ini masih ada, ya?" tanyanya kepadaku.

 "Tidak ada … kan, sudah habis," jawabku.

"Di catatan masih ada satu lagi, Vin."

Aku tetap menjawab, "Kan, sudah kosong."

Tapi ia tidak percaya. Ia terus mencari barang itu.

"Di mana, ya?"

Setelah itu ia kembali ke meja kerjanya. Aku membantu mencari. Akhirnya aku menuju mejanya dan mengambil buku catatan itu. Dan aku temukan di sini ada catatan, kalau satu barang itu sudah keluar, sehingga semuanya sudah kosong. Lalu aku beri tahu.

"Nih ada satu, berarti sudah kosong, kan?"

"Oh iya, ya? aku tidak melihat ke bagian itu."

Oh tapi setahuku, bukankah harus dilihat semua dan diusahakan agar tidak terlewat satu pun. Tapi ya syukurlah, akhirnya itu bisa ditemukan, karena kalau tidak, nanti bisa-bisa aku yang disalahkan, pikirku sambil berlalu untuk mengerjakan tugasku lagi.

Hari pun berganti.

Kriiing!

Telepon berdering, kali ini ditujukan untuk bagian lain. Aku memberitahu ada telepon dan ingin berbicara kepada kepala bagian itu. Dengan langkah cepat, aku mulai menaiki anak tangga satu per satu untuk memberitahunya.
"Mas, ada telepon."

Tapi ia tidak percaya, justru ia tertawa atas pemberitahuanku ini, karena menurutnya, tidak mungkin ada telepon dari alamat sana untuknya. Hingga akhirnya aku kembali  turun untuk menerima telepon itu dan menanyakan lagi. Tapi penelepon itu tetap menjawab dengan alamat yang sama dan ingin berbicara kepada kepala bagian itu. Akhirnya aku kembali menaiki anak tangga dan memberitahu padanya. Akhirnya ia mau turun dan menerima telepon itu. Huhft, sabar … sabar …, ucapku dalam hati setiap kali ada hal yang tidak menyenangkan bagiku.

Hari pun kembali berganti. Kini terjadi sesuatu hal. Kepala bagianku marah-marah kepada rekan kerjaku. Ia memang masih sangat baru, tapi Intan berterus terang kepadaku, kalau ia tidak suka padanya. Tapi yang aku tangkap, sepertinya Intan bukan cuma tidak suka padanya, tapi denganku juga. Kata-kata yang keluar karena emosi, secara tidak langsung seperti untuk diriku juga. Karena ia sering sekali mengucapkan itu kepadaku dahulu. Hingga ia juga memarahiku.

"Kenapa ini belum selesai juga?!!" tanyanya dengan keras.

"Tadi, kan, aku bantu di depan, jadi yang ini aku tinggal dulu," jawabku padanya.

Padahal tadi di depan aku berdua dengannya. Aku cuma bisa pasrah. Di samping aku tahu, ia sedang pusing sehingga terbawa semuanya. Walau aku sedikit tidak bisa terima, karena bagiku tak perlu sampai marah-marah seperti itu kepada anak baru. Hingga esok harinya, rekan kerja baruku itu tidak masuk lagi.

Hari demi hari aku lalui. Dengan begitu terus setiap harinya, bersama kepala bagianku yang kadang membuat aku merasa kecewa dan pekerjaan yang cukup berat bagiku. Dengan rasa semangat yang menurun. Hingga aku ingin mengambil sebuah keputusan. Aku berusaha mengimbangi perasaanku dengan logika. Kadang logika bisa menang, tapi kadang perasaan lebih terasa. Begitu terus, aku berusaha meredam perasaanku. Tapi perasaanku lebih kuat, hingga aku terbawa dengan perasaanku sendiri. Hingga aku yakin untuk mengambil sebuah keputusan, aku ingin keluar. Ya, begitulah, akhirnya aku ambil sebuah keputusan.

"O ya, aku cuma sampai akhir bulan ini saja, aku tidak teruskan lagi," ucapku pada Intan.

"Oh, tidak diteruskan, kenapa?"

Aku menjawab dengan alasanku.

Hingga akhir bulan pun tiba. Dan inilah hari, di mana esok aku sudah tidak datang lagi ke sini.

Selesailah sudah … Dan ku lewati hari-hari tanpa itu.

Tapi aku merasa agak menyesal, aku telah melepas begitu saja. Hingga kehilangan semua itu. Aku merasa seperti sudah sangat salah mengambil langkah ini. Dan rasa itu masih belum selesai juga sampai saat ini. Aku merasa kecewa dengan diriku sendiri. Mengapa aku seperti ini? Andai waktu dapat diputar kembali, aku ingin kembali memperbaiki semuanya. Tapi itu semua tidak mungkin. Dan kini … Entah bagaimana??? Dan akan di mana??? Aku tidak tahu …

******

Hmmm.. Semoga bermanfaat yaa..

*Smile and Love

Rabu, 26 Oktober 2016

Sebelah Kiri Saja

Aku menggerakkan tubuhku ke samping. Mengganti posisi tidurku, yang sudah terlalu lama dalam satu posisi yang sama. Badanku terasa pegal. Pelan-pelan aku membuka mata, karena memang masih sangat berat. Dengan pandangan yang masih buyar, aku arahkan pandanganku ke sebuah benda yang sangat terdengar bunyi dentingnya itu.


"Oh, ternyata sudah pagi. Hmm.. Belum lama rasanya aku tidur," ucapku dengan suara pelan.

Aku masih saja berbaring dan memejamkan mata kembali. Itulah kebiasaan burukku, yang selalu ingin menambah waktu.

Beberapa detik pun berlalu. Perlahan aku membuka mata, "Ayo, bangun Mira, sudah waktunya bangun," ucapku untuk memberikan semangat pada diriku sendiri.

Langsung aku bergegas untuk bangun, karena kalau tidak, nanti aku bisa terlambat.

"Aduh, waktu cepat banget ya berlalu, aku belum rapi," ujarku saat aku telah bersih dan wangi sambil merapikan pakaian yang aku kenakan.

Dengan agak tergesa aku langsung berangkat menuju stasiun kereta. Aku memang akan menggunakan kereta, karena memang ini adalah alat transportasi yang sangat efektif dari tempat tinggalku untuk bisa sampai ke tempat tujuanku.

Udara pagi menyentuh kulitku, memberikan kesejukan di sepanjang jalan. Hingga tak terasa diri ini sudah tiba di stasiun kereta.

"Hai, Mira!" sapa temanku yang sudah sampai lebih dulu di stasiun ini.

"Hai, sudah sampai, Kak Edi," jawabku padanya.

"Iya."

Aku mendengar informasi bahwa kereta akan segera datang. Aku dan temanku pun bersiap-siap. Dengan barisan yang cukup rapat, karena banyak penumpang yang akan menaiki kereta ini. Dan kemudian, tibalah kereta ini di hadapanku. Dengan tergesa dan berdesakan, aku langsung melangkah untuk bisa masuk. Namun …

Oh tidak, sandalku lepas! dengan terkejut ku berucap dalam hati.

Dengan keadaan tubuhku yang sudah terdorong oleh penumpang lain dari belakang. Sandalku tertinggal di stasiun, terlepas saat aku memasuki kereta ini. Karena dorongan yang kuat itu pun akhirnya aku bisa masuk lebih dalam. Tapi sayang … sandalku lepas satu. Kini aku hanya memakai yang sebelah kiri saja.

"Aduh, kenapa bisa seperti ini sih?" ucapku lirih.

Dengan rasa yang gelisah tapi juga lucu yang menggelitik. Aku tak bisa menahan tawaku sendiri. Namun aku tahan suaranya agar tidak terdengar.
Pikiranku berkecamuk. Udara yang masih terasa sejuknya, kini tak terasa lagi. Tubuhku berkeringat. Aku panas dingin. Ingin rasanya aku segera turun untuk kembali dan tidak meneruskan perjalananku ini, tapi di satu sisi aku harus berangkat karena kalau tidak itu berarti aku sudah bolos satu hari. Tapi kereta pun terus melaju, satu per satu stasiun pun sudah dilalui. Aku memang masih agak ragu untuk turun.

Huhft.. Bagaimana ini? Malu banget aku, kalau sampai ada yang lihat, apalagi teman-temanku yang lain tahu, pikirku.

Karena di dalam kereta ini memang sudah banyak teman yang lain. Dan mereka biasa memberikan aku tempat duduk, salah satu di antara mereka akan memberikannya untukku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita kepada temanku, Kak Edi.

"Kak, sandal aku putus, aku cuma pakai sebelah nih," bisikku padanya.

"Oh, masa'?! Yah, ada-ada aja," katanya.

Dengan tersenyum malu aku menjawab, "Iya nih, ada-ada aja."

Lalu ia menyuruhku untuk duduk, karena sudah ada yang ingin bergantian. Aku memang tidak ingin duduk, aku tidak berkata apa-apa tapi mungkin dari raut wajahku terlihat.

"Ayo, nggak apa-apa, duduk aja," ucapnya padaku.

Akhirnya aku pun duduk.

Salah satu temanku bertanya, "Kenapa, Mir? Kena musibah, ya?"

"Oh, iya nih," jawabku tersenyum dengan perasaan malu.

"Nggak ada yang bawa dua sih, nanti beli lagi aja, ya," katanya.

"Oh, nggak apa-apa, iya nanti aku beli lagi."

Cuma aku bingung, apakah ada yang jual, karena hari masih sangat pagi. Tapi ya semoga saja ada deh.
Penumpang pun sudah mulai berkurang, teman-temanku pun sudah turun lebih dulu. Sedangkan aku masih harus terus berlanjut karena arah tujuanku adalah ke stasiun terakhir jurusan ini.

Mataku melihat di sekeliling dalam kereta, hanya ada beberapa orang saja. Aduh … jadi kelihatan deh, kalau aku cuma pakai sandal sebelah, benakku.

Karena memang tidak banyak penumpang yang sampai turun di pemberhentian terakhir jurusan kereta ini. Kereta pun melaju perlahan dan hingga akhirnya berhentilah kereta ini.

Aku langsung melepas sandalku yang sebelah ini, aku meninggalkannya di dalam kereta. Aku turun dengan tanpa alas kaki. Dengan percaya diri, aku terus berjalan. Selangkah demi selangkah aku lalui. Dengan merasakan malu di wajahku dan juga debu serta kerikil kecil di kakiku. Aku mulai mengambil telepon genggamku untuk menghubungi saudariku.

"Halo, iya nih bagaimana, ya? Mau beli tapi kalau nggak ada yang jual bagaimana?" Aku masih meneruskan percakapanku di telepon, sambil menuju pintu keluar stasiun ini.

Di sepanjang jalan, aku terus menahan rasa malu, karena aku yakin orang-orang di sekitar pasti melihat aku berjalan tanpa alas kaki. Akhirnya aku pun sampai di pintu keluar dan aku mengikuti saran temanku tadi, kalau di sebelah kiri pintu keluar itu ada yang jual sandal. Aku mulai melangkah lagi dengan sangat berhati-hati, karena batu-batu kecil sangat terasa di kedua telapak kakiku. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang jual.

"Aduh, nggak ada … di mana dong, ya?"

Pikiranku mulai melayang lagi. Aku tidak bisa berpikir jernih. Rasanya aku ingin kembali pulang atau aku harus tetap terus berjalan tanpa alas kaki sambil mencari yang jual. Tapi saudariku berkata, karena memang aku masih belum memutuskan percakapanku di telepon.

"Tanya sama orang di sekitar," katanya.

"Oh iya, benar juga, ya? tanya sama orang," jawabku padanya, "terima kasih, ya," tambahku.

Kemudian aku mematikan telepon genggamku, memutuskan percakapanku. Hmm … dengan siapa, ya? Gumamku dalam hati.
"Pak, maaf mau tanya."

"Iya, Dik."

"Kalau ada yang jual sandal itu di mana, ya?" tanyaku kepada bapak pedagang buah.

"Oh sandal? Sini, ikut saya."

Aku pun mengikutinya. Tapi ternyata ia membuka sebuah karung. Dan wah, ternyata karung itu berisi sandal. Mungkin beliau juga menjual sandal, tapi belum siap untuk membuka dagangannya, karena hari memang masih sangat pagi.

Hmmm … syukurlah, aku bertanya pada orang yang tepat. Akhirnya aku bisa mendapatkan sandal tanpa perlu berjalan lebih jauh lagi dengan tidak memakai alas kaki, pikirku saat aku mengenakan sandal baru ini.

Hmmm… Hal yang berharga bagiku, dengan bertanya, semua jadi terasa lebih mudah. Jika saja aku masih berdiam diri, menyembunyikan tujuanku, pasti rasa malu itu akan terus aku bawa sampai aku menemukannya.
Terimakasih Saudariku.
Dan tentu saja, semua ini tidak terlepas dari pertolongan-Nya. Tuhan selalu bersama kita.

Aku pun melanjutkan perjalananku lagi dengan menggunakan alas kaki yang baru. Aku merasakan lagi sejuknya udara yang menyentuh tubuhku. Aku bisa bernafas lebih lega, menghirup udara pagi yang segar, begitu sejuknya. Dan dengan lucu yang menggelitik, senyum dan tawa itu tercipta. Ingin terus aku tertawa, tapi aku harus bisa menahannya, karena aku memang masih berada di jalan. Tapi lagi-lagi aku tersenyum... Senyum dan senyum lagi sambil ku melangkah melanjutkan perjalananku ini......

******

Semoga bermanfaat yaa... :)

"Smile and Love"