Sabtu, 29 Oktober 2016

Sebuah Langkah


"Hai, sudah datang kamu, Vina. Belum dibuka, ya?"

Seperti biasa, Intan temanku menyapa di pagi hari saat aku sudah lebih dulu sampai di tempat yang sama untuk mengais rezeki.

"Iya, belum dibuka nih," jawabku padanya dengan tetap duduk sambil menunggu pintu gerbang dibuka.

"Huhft, kebiasaan deh, lama banget bukanya," kata Intan sambil mendekatiku untuk duduk di sampingku.

Detik demi detik pun berlalu. Matahari terus menampakkan sinarnya. Teriknya sang mentari membuat udara semakin panas. Kulitku pun terasa terbakar oleh sinarnya.

"Huhft … panaass … lama banget sih, cepat dong buka!?" Intan pun mengeluh saat sinar mentari ikut menyentuh kulitnya.

Aku hanya terdiam, tersenyum menatapnya. Satu per satu temanku yang lain pun datang. Dan dengan pertanyaan yang sama, karena pintu gerbang belum juga dibuka. Kami pun semua menunggu. Dengan tetap tenang, aku masih duduk dengan penantian ini. Walau di dalam hati aku merasa gelisah, karena kebiasaan burukku yang selalu merasa khawatir tentang apa yang akan terjadi nanti. Entah mengapa aku selalu seperti ini.

Intan sudah tak sabar, ia pun berjalan menuju tempat teman-teman yang lain berkumpul. Dan tak lama kemudian, datang seseorang yang sudah diberi tugas untuk memegang kunci.

Sambil berjalan tergesa-gesa ia berkata, "Aduh, maaf, ya. Sudah lama menunggu, ya?"

Pintu gerbang pun dibuka.

"Iya, kebiasaan, lama banget bukanya!" jawab Intan dengan jengkel.

"Iya maaf, karena aku juga banyak tugas yang lain."

Kami pun semua masuk. Memasuki ruangannya masing-masing. Huhft …saat-saat menegangkan akan dimulai, itulah perasaan yang selalu aku rasa. Entah sampai kapan akan berakhir. Dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu ada di kepalaku. Bagaimana ya, nanti? Apa yang akan terjadi nanti?

Dengan langkah kecilku menuju meja, aku letakkan tasku. Aku bersiap-siap untuk memulai pekerjaanku. Mengambil langkah awal untuk aku kerjakan lebih dulu sebelum memulai yang lainnya. Aku kerjakan dengan semampuku. Walau tidak lepas dari perasaan khawatir dan rasa bingung yang selalu ada dalam diriku.

"Vin, tolong tuliskan!"

Terdengar suara Intan sebagai kepala bagianku memberi perintah kepadaku.

"Iya," jawabku walau dengan tanda tanya dalam hati, lalu aku bertanya, "Tulis di mana? Untuk ditempel?"

Karena yang aku tahu menulis seperti yang ia perintahkan itu, ada banyak macamnya, tulis di buku tulis, tulis di atas kertas kecil untuk memberi kode untuk kemudian ditempel atau tulis di catatan lain.

Kemudian ia menjawab, "Iya, ditempel."

"Oh, iya baik."

Aku mulai menggoreskan spidol di atas kertas putih, kemudian aku tempel.

Kriiiing!

Telepon berdering, yang akhir-akhir ini selalu aku yang menerima, walaupun tujuannya bukan untukku, tapi untuk kepala bagianku. Aku tahu ini adalah bagian dari tugasku. Tapi aku merasa, ia seperti tidak bersemangat jika ada telepon. Hingga telepon itu dibiarkan terus berdering jika aku tidak mengangkatnya. Setelah aku menerima telepon itu dan kemudian ia berbicara kepada penelepon itu.

"Vin, barang kode ini masih ada, ya?" tanyanya kepadaku.

 "Tidak ada … kan, sudah habis," jawabku.

"Di catatan masih ada satu lagi, Vin."

Aku tetap menjawab, "Kan, sudah kosong."

Tapi ia tidak percaya. Ia terus mencari barang itu.

"Di mana, ya?"

Setelah itu ia kembali ke meja kerjanya. Aku membantu mencari. Akhirnya aku menuju mejanya dan mengambil buku catatan itu. Dan aku temukan di sini ada catatan, kalau satu barang itu sudah keluar, sehingga semuanya sudah kosong. Lalu aku beri tahu.

"Nih ada satu, berarti sudah kosong, kan?"

"Oh iya, ya? aku tidak melihat ke bagian itu."

Oh tapi setahuku, bukankah harus dilihat semua dan diusahakan agar tidak terlewat satu pun. Tapi ya syukurlah, akhirnya itu bisa ditemukan, karena kalau tidak, nanti bisa-bisa aku yang disalahkan, pikirku sambil berlalu untuk mengerjakan tugasku lagi.

Hari pun berganti.

Kriiing!

Telepon berdering, kali ini ditujukan untuk bagian lain. Aku memberitahu ada telepon dan ingin berbicara kepada kepala bagian itu. Dengan langkah cepat, aku mulai menaiki anak tangga satu per satu untuk memberitahunya.
"Mas, ada telepon."

Tapi ia tidak percaya, justru ia tertawa atas pemberitahuanku ini, karena menurutnya, tidak mungkin ada telepon dari alamat sana untuknya. Hingga akhirnya aku kembali  turun untuk menerima telepon itu dan menanyakan lagi. Tapi penelepon itu tetap menjawab dengan alamat yang sama dan ingin berbicara kepada kepala bagian itu. Akhirnya aku kembali menaiki anak tangga dan memberitahu padanya. Akhirnya ia mau turun dan menerima telepon itu. Huhft, sabar … sabar …, ucapku dalam hati setiap kali ada hal yang tidak menyenangkan bagiku.

Hari pun kembali berganti. Kini terjadi sesuatu hal. Kepala bagianku marah-marah kepada rekan kerjaku. Ia memang masih sangat baru, tapi Intan berterus terang kepadaku, kalau ia tidak suka padanya. Tapi yang aku tangkap, sepertinya Intan bukan cuma tidak suka padanya, tapi denganku juga. Kata-kata yang keluar karena emosi, secara tidak langsung seperti untuk diriku juga. Karena ia sering sekali mengucapkan itu kepadaku dahulu. Hingga ia juga memarahiku.

"Kenapa ini belum selesai juga?!!" tanyanya dengan keras.

"Tadi, kan, aku bantu di depan, jadi yang ini aku tinggal dulu," jawabku padanya.

Padahal tadi di depan aku berdua dengannya. Aku cuma bisa pasrah. Di samping aku tahu, ia sedang pusing sehingga terbawa semuanya. Walau aku sedikit tidak bisa terima, karena bagiku tak perlu sampai marah-marah seperti itu kepada anak baru. Hingga esok harinya, rekan kerja baruku itu tidak masuk lagi.

Hari demi hari aku lalui. Dengan begitu terus setiap harinya, bersama kepala bagianku yang kadang membuat aku merasa kecewa dan pekerjaan yang cukup berat bagiku. Dengan rasa semangat yang menurun. Hingga aku ingin mengambil sebuah keputusan. Aku berusaha mengimbangi perasaanku dengan logika. Kadang logika bisa menang, tapi kadang perasaan lebih terasa. Begitu terus, aku berusaha meredam perasaanku. Tapi perasaanku lebih kuat, hingga aku terbawa dengan perasaanku sendiri. Hingga aku yakin untuk mengambil sebuah keputusan, aku ingin keluar. Ya, begitulah, akhirnya aku ambil sebuah keputusan.

"O ya, aku cuma sampai akhir bulan ini saja, aku tidak teruskan lagi," ucapku pada Intan.

"Oh, tidak diteruskan, kenapa?"

Aku menjawab dengan alasanku.

Hingga akhir bulan pun tiba. Dan inilah hari, di mana esok aku sudah tidak datang lagi ke sini.

Selesailah sudah … Dan ku lewati hari-hari tanpa itu.

Tapi aku merasa agak menyesal, aku telah melepas begitu saja. Hingga kehilangan semua itu. Aku merasa seperti sudah sangat salah mengambil langkah ini. Dan rasa itu masih belum selesai juga sampai saat ini. Aku merasa kecewa dengan diriku sendiri. Mengapa aku seperti ini? Andai waktu dapat diputar kembali, aku ingin kembali memperbaiki semuanya. Tapi itu semua tidak mungkin. Dan kini … Entah bagaimana??? Dan akan di mana??? Aku tidak tahu …

******

Hmmm.. Semoga bermanfaat yaa..

*Smile and Love

Rabu, 26 Oktober 2016

Sebelah Kiri Saja

Aku menggerakkan tubuhku ke samping. Mengganti posisi tidurku, yang sudah terlalu lama dalam satu posisi yang sama. Badanku terasa pegal. Pelan-pelan aku membuka mata, karena memang masih sangat berat. Dengan pandangan yang masih buyar, aku arahkan pandanganku ke sebuah benda yang sangat terdengar bunyi dentingnya itu.


"Oh, ternyata sudah pagi. Hmm.. Belum lama rasanya aku tidur," ucapku dengan suara pelan.

Aku masih saja berbaring dan memejamkan mata kembali. Itulah kebiasaan burukku, yang selalu ingin menambah waktu.

Beberapa detik pun berlalu. Perlahan aku membuka mata, "Ayo, bangun Mira, sudah waktunya bangun," ucapku untuk memberikan semangat pada diriku sendiri.

Langsung aku bergegas untuk bangun, karena kalau tidak, nanti aku bisa terlambat.

"Aduh, waktu cepat banget ya berlalu, aku belum rapi," ujarku saat aku telah bersih dan wangi sambil merapikan pakaian yang aku kenakan.

Dengan agak tergesa aku langsung berangkat menuju stasiun kereta. Aku memang akan menggunakan kereta, karena memang ini adalah alat transportasi yang sangat efektif dari tempat tinggalku untuk bisa sampai ke tempat tujuanku.

Udara pagi menyentuh kulitku, memberikan kesejukan di sepanjang jalan. Hingga tak terasa diri ini sudah tiba di stasiun kereta.

"Hai, Mira!" sapa temanku yang sudah sampai lebih dulu di stasiun ini.

"Hai, sudah sampai, Kak Edi," jawabku padanya.

"Iya."

Aku mendengar informasi bahwa kereta akan segera datang. Aku dan temanku pun bersiap-siap. Dengan barisan yang cukup rapat, karena banyak penumpang yang akan menaiki kereta ini. Dan kemudian, tibalah kereta ini di hadapanku. Dengan tergesa dan berdesakan, aku langsung melangkah untuk bisa masuk. Namun …

Oh tidak, sandalku lepas! dengan terkejut ku berucap dalam hati.

Dengan keadaan tubuhku yang sudah terdorong oleh penumpang lain dari belakang. Sandalku tertinggal di stasiun, terlepas saat aku memasuki kereta ini. Karena dorongan yang kuat itu pun akhirnya aku bisa masuk lebih dalam. Tapi sayang … sandalku lepas satu. Kini aku hanya memakai yang sebelah kiri saja.

"Aduh, kenapa bisa seperti ini sih?" ucapku lirih.

Dengan rasa yang gelisah tapi juga lucu yang menggelitik. Aku tak bisa menahan tawaku sendiri. Namun aku tahan suaranya agar tidak terdengar.
Pikiranku berkecamuk. Udara yang masih terasa sejuknya, kini tak terasa lagi. Tubuhku berkeringat. Aku panas dingin. Ingin rasanya aku segera turun untuk kembali dan tidak meneruskan perjalananku ini, tapi di satu sisi aku harus berangkat karena kalau tidak itu berarti aku sudah bolos satu hari. Tapi kereta pun terus melaju, satu per satu stasiun pun sudah dilalui. Aku memang masih agak ragu untuk turun.

Huhft.. Bagaimana ini? Malu banget aku, kalau sampai ada yang lihat, apalagi teman-temanku yang lain tahu, pikirku.

Karena di dalam kereta ini memang sudah banyak teman yang lain. Dan mereka biasa memberikan aku tempat duduk, salah satu di antara mereka akan memberikannya untukku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita kepada temanku, Kak Edi.

"Kak, sandal aku putus, aku cuma pakai sebelah nih," bisikku padanya.

"Oh, masa'?! Yah, ada-ada aja," katanya.

Dengan tersenyum malu aku menjawab, "Iya nih, ada-ada aja."

Lalu ia menyuruhku untuk duduk, karena sudah ada yang ingin bergantian. Aku memang tidak ingin duduk, aku tidak berkata apa-apa tapi mungkin dari raut wajahku terlihat.

"Ayo, nggak apa-apa, duduk aja," ucapnya padaku.

Akhirnya aku pun duduk.

Salah satu temanku bertanya, "Kenapa, Mir? Kena musibah, ya?"

"Oh, iya nih," jawabku tersenyum dengan perasaan malu.

"Nggak ada yang bawa dua sih, nanti beli lagi aja, ya," katanya.

"Oh, nggak apa-apa, iya nanti aku beli lagi."

Cuma aku bingung, apakah ada yang jual, karena hari masih sangat pagi. Tapi ya semoga saja ada deh.
Penumpang pun sudah mulai berkurang, teman-temanku pun sudah turun lebih dulu. Sedangkan aku masih harus terus berlanjut karena arah tujuanku adalah ke stasiun terakhir jurusan ini.

Mataku melihat di sekeliling dalam kereta, hanya ada beberapa orang saja. Aduh … jadi kelihatan deh, kalau aku cuma pakai sandal sebelah, benakku.

Karena memang tidak banyak penumpang yang sampai turun di pemberhentian terakhir jurusan kereta ini. Kereta pun melaju perlahan dan hingga akhirnya berhentilah kereta ini.

Aku langsung melepas sandalku yang sebelah ini, aku meninggalkannya di dalam kereta. Aku turun dengan tanpa alas kaki. Dengan percaya diri, aku terus berjalan. Selangkah demi selangkah aku lalui. Dengan merasakan malu di wajahku dan juga debu serta kerikil kecil di kakiku. Aku mulai mengambil telepon genggamku untuk menghubungi saudariku.

"Halo, iya nih bagaimana, ya? Mau beli tapi kalau nggak ada yang jual bagaimana?" Aku masih meneruskan percakapanku di telepon, sambil menuju pintu keluar stasiun ini.

Di sepanjang jalan, aku terus menahan rasa malu, karena aku yakin orang-orang di sekitar pasti melihat aku berjalan tanpa alas kaki. Akhirnya aku pun sampai di pintu keluar dan aku mengikuti saran temanku tadi, kalau di sebelah kiri pintu keluar itu ada yang jual sandal. Aku mulai melangkah lagi dengan sangat berhati-hati, karena batu-batu kecil sangat terasa di kedua telapak kakiku. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang jual.

"Aduh, nggak ada … di mana dong, ya?"

Pikiranku mulai melayang lagi. Aku tidak bisa berpikir jernih. Rasanya aku ingin kembali pulang atau aku harus tetap terus berjalan tanpa alas kaki sambil mencari yang jual. Tapi saudariku berkata, karena memang aku masih belum memutuskan percakapanku di telepon.

"Tanya sama orang di sekitar," katanya.

"Oh iya, benar juga, ya? tanya sama orang," jawabku padanya, "terima kasih, ya," tambahku.

Kemudian aku mematikan telepon genggamku, memutuskan percakapanku. Hmm … dengan siapa, ya? Gumamku dalam hati.
"Pak, maaf mau tanya."

"Iya, Dik."

"Kalau ada yang jual sandal itu di mana, ya?" tanyaku kepada bapak pedagang buah.

"Oh sandal? Sini, ikut saya."

Aku pun mengikutinya. Tapi ternyata ia membuka sebuah karung. Dan wah, ternyata karung itu berisi sandal. Mungkin beliau juga menjual sandal, tapi belum siap untuk membuka dagangannya, karena hari memang masih sangat pagi.

Hmmm … syukurlah, aku bertanya pada orang yang tepat. Akhirnya aku bisa mendapatkan sandal tanpa perlu berjalan lebih jauh lagi dengan tidak memakai alas kaki, pikirku saat aku mengenakan sandal baru ini.

Hmmm… Hal yang berharga bagiku, dengan bertanya, semua jadi terasa lebih mudah. Jika saja aku masih berdiam diri, menyembunyikan tujuanku, pasti rasa malu itu akan terus aku bawa sampai aku menemukannya.
Terimakasih Saudariku.
Dan tentu saja, semua ini tidak terlepas dari pertolongan-Nya. Tuhan selalu bersama kita.

Aku pun melanjutkan perjalananku lagi dengan menggunakan alas kaki yang baru. Aku merasakan lagi sejuknya udara yang menyentuh tubuhku. Aku bisa bernafas lebih lega, menghirup udara pagi yang segar, begitu sejuknya. Dan dengan lucu yang menggelitik, senyum dan tawa itu tercipta. Ingin terus aku tertawa, tapi aku harus bisa menahannya, karena aku memang masih berada di jalan. Tapi lagi-lagi aku tersenyum... Senyum dan senyum lagi sambil ku melangkah melanjutkan perjalananku ini......

******

Semoga bermanfaat yaa... :)

"Smile and Love"