Aku berdiri menyandarkan sedikit badan di pagar dinding yang memiliki tinggi mencapai pinggang orang dewasa dan kuletakkan kedua tangan di atasnya dengan mata tertuju ke arah depan.
Angin yang berhembus kencang seketika mengibaskan sebagian rambutku ke samping. Daun-daun yang sudah kering jatuh berguguran dari pepohonan yang tinggi dan besar, menambah deretan daun yang berserakan di jalan yang juga berhamburan tersapu oleh angin.
Tak sedikit pun pandangan ini berpaling, masih saja terdiam menatap dirinya yang terlihat kecil dari kejauhan. Masih dalam ketidaksadarannya dalam pengawasanku, ia beranjak pergi berjalan santai bersama seorang temannya. Ia yang memiliki badan gagah, dadanya yang bidang dengan rambutnya yang tebal dan hitam, membuat semakin kontras dengan warna kulitnya yang putih, juga paras yang tampan menjadikannya ia begitu sempurna bagiku.
Sahan, begitulah aku memanggilnya. Sejak pertama kali kami berkenalan beberapa bulan lalu, saat aku tiba di Bandung yang datang dari Jakarta untuk melanjutkan kuliah di sini. Ia yang juga berasal dari Jakarta dan bekerja di salah satu perusahaan swasta, berusia 25 tahun yang memiliki perbedaan usia dua tahun di atas usiaku.
Aku yang selalu menanti dirinya untuk bisa bertemu dengannya lagi. Saat ini, ia berlalu pergi, semakin jauh dan menjauh.
"Masih di sini saja." Suara terdengar dari belakang membuyarkan pandangan. Seketika aku menoleh, terlihat seorang laki-laki yang juga memiliki paras tampan, tubuhnya yang tinggi, namun tidak terlalu berisi, sudah berdiri di belakangku. Teman satu kampusku yang juga berasal dari Jakarta.
"Oh Muzi, kamu di sini?" tanyaku dengan sedikit terkejut.
"Iya," jawabnya singkat dengan senyum ramah.
Perlahan ia berjalan menghampiri. Berdiri mendekat di samping kananku.
"Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku.
"Beberapa menit yang lalu."
"Oh!?" Detak jantung seakan berhenti seketika, napas terasa sesak, karena itu berarti ia sudah melihat sejak tadi. Entah ia mengetahui atau tidak apa yang kulakukan di sini.
"Sedang apa kamu sejak tadi?" tanyanya dengan wajah yang tetap mengarah ke depan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.
"Oh, a…ku sedang lihat seseorang di sana," jawabku sedikit ragu.
"Oh, benarkah??" tanyanya dengan penuh selidik.
"Iya, tadi ada seseorang," jawabku dengan senyum gelisah. "Kamu sendiri, sedang apa di sini?" tambahku.
Ia menarik napas panjang. Seketika Ia menolehkan wajahnya ke arahku. Sorotan matanya yang tajam dengan raut wajah yang serius, seakan sedang mencari sesuatu di balik kedua bola mataku. Pandangan kami saling bertemu. Jantung berdegup kencang. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Muzi…," ucapku lirih. "Muzi, kamu kenapa??"
Ia membuang pandangannya kembali. Menatap langit yang biru dan luas di sana.
Seketika suasana hening. Aku yang merasa seperti ada bongkahan es tepat berada di hidungku, jari-jemari tak bisa bergerak bebas, indra peraba seolah tak bekerja secara maksimal. Dingin yang menyelimuti tubuh sejak tadi seakan memaksa untuk segera memberikan perlindungan.
"Baiklah Muzi, aku harus pergi."
Aku membalikkan badan, melangkahkan kaki untuk segera beranjak dari tempat itu. Seketika sesuatu menahan lenganku dengan genggaman yang kuat.
Aku tersentak, langkah terhenti seketika. Dengan cepat mataku mengarah ke lengan yang telah digenggamnya. Rasa penasaran membawa mata ini untuk segera melihat wajahnya yang kutatap terlihat begitu bimbang.
"Muzi, ada apa denganmu??" tanyaku dengan penuh heran.
Ia hanya terdiam dengan masih menggenggam lenganku.
"Katakan padaku, Muzi!"
Perlahan ia mulai melepaskan genggamannya. Lalu membalikkan badan menghadapku, menundukkan wajahnya dan menarik napas. Aku yang masih menatapnya penuh tanya.
"Sheryl, bagaimana menurutmu kalau aku mengatakan kepadanya?" tanyanya sembari menolehkan wajahnya ke arahku.
"Mengatakan apa?" Aku balik bertanya. "Dan kepada siapa?" tanyaku lagi.
"Ah, sudahlah, tak perlu dibahas."
Ia menghela napas. Dan menatap rerumputan yang tumbuh segar di dekat kakinya.
"Muzi, katakan padaku dengan jelas," pintaku sedikit memaksa.
"Nothing…," jawabnya tak bersemangat. "Lupakan semua, Sheryl. Aku baik-baik saja," tambahnya.
Aku menarik napas panjang.
"Baiklah," ucapku dengan pasrah berusaha menerima pernyataannya.
"Ayo, kita pergi!" ajaknya dengan sedikit bersemangat.
"Oke!" sahutku dengan mengangguk pelan.
Tidak begitu jauh kaki ini melangkah, mataku tertuju pada seseorang yang terlihat dari belakang yang aku tahu persis bahwa itu adalah dirinya yang sedang duduk menyendiri di kursi taman yang tengah memegang ponsel di tangannya. Sahan, kapan kamu bisa bertemu denganku lagi?
"Oke, Sheryl! Sampai jumpa besok!" ucapnya sembari menepuk pundakku.
"Oke, sampai jumpa, Muzi!"
Muzi melangkah pergi meninggalkanku. Aku yang diam terpaku di sini, menahan gejolak di hati. Ingin kaki ini melangkah untuk menemuinya, namun hati berkata tidak. Oh, Tuhan, apa yang harus kulakukan?
Ia begitu sibuk dengan ponselnya dan mungkin ia sudah tidak lagi mengingatku. Dan untuk kedua kalinya aku melihat ia beranjak pergi. Bibir ini seakan kelu untuk bisa memanggil dirinya.
***
Aku menghempaskan badanku duduk di kursi kamar, membuka halaman buku yang sedang kubaca sejak kemarin.
"Sheryyyll! Sheryl!!" Suara ibu terdengar keras ke dalam kamar. Segera aku beranjak dari duduk untuk menghampirinya sambil berkata, "Iya, Bu!"
Ponsel yang berada di atas meja berdering menandakan pesan masuk.
Dua menit berlalu.
Tiga menit, lima menit… sepuluh menit.
Aku kembali ke kamar setelah selesai membantu ibu mengangkat beberapa barang.
"Huuhh, lelah juga, ya," ucapku sambil merentangkan tangan ke atas berjalan menuju kursi.
Perlahan aku duduk dan mengambil ponsel yang berada di atas meja. Menyalakan layarnya dan terlihat ada satu pesan masuk lalu kubuka.
Sheryl, apa kabar? Bisakah kita bertemu?
Seketika senyum mengembang di bibir. Jantung berdegup kencang, tubuh sedikit gemetar. Sahan! Iya, Sahan yang mengirimkan aku pesan. Jariku dengan cepat mengetik untuk membalas pesannya.
Kabar aku baik, Sahan. Kapan kita bisa bertemu? Dan di mana?
Terlihat pesanku tidak terkirim. Aku mencoba memanggilnya. Hanya ada suara operator yang terdengar.
Aku lemas, segera jari ini memeriksa rincian pesannya dan terlihat di sana sepuluh menit yang lalu. Ya Tuhan, sudah lama aku menunggu dirinya, namun ketika ia menghubungi tapi aku telat membalasnya.
***
"Sheryl!!" teriak Muzi sambil berlari di belakangku.
Aku menoleh. "Apa kabar, Muzi?"
"Fine, kamu?" jawabnya dengan napas tersengal-sengal.
"Really?" jawabku meyakinkan.
"Ya, aku minta maaf untuk soal kemarin, aku …."
"Iya, kamu kenapa?" tanyaku. "Oke, jangan bicara soal itu lagi. Aku sudah senang kalau kamu baik-baik saja sekarang dan itu sudah cukup buatku," tambahku dengan senyum merebak.
Ia menggandengku sambil berjalan dan disusul dengan mengacak-acak rambut.
"Uhh, kebiasaan kamu selalu acak-acak rambutku," ucapku dengan wajah cemberut.
"Hahaha." Ia hanya tertawa seakan puas sekali telah membuatku jengkel.
"Muzi." Terdengar suara dari belakang kami yang aku kenal betul dengan suaranya. Kami seketika menoleh ke arah suara itu.
"Sahan?!" Seketika jantung berdegup sangat kencang, aliran darah mengalir deras. Mataku terus menatap wajahnya tanpa berkedip sedikit pun.
Muzi melepaskan gandengannya.
"Ada apa dengan ponselmu, Sahan?" tanyaku tanpa basa-basi dengan suara sedikit gemetar.
"Ponselku rusak karena terjatuh kemarin, kamu membalas pesanku?"
Muzi melihatku penuh heran lalu menatap ke arah Sahan. Raut wajah Muzi berubah seketika. "Baiklah, Kak. Kalian teruskan!" ucapnya dengan nada kesal. Lalu beranjak pergi meninggalkan kami berdua.
"Muzi!!!" teriak Sahan.
Jantung berdegup lebih kencang seakan mau lepas. Tubuh semakin gemetar. Kak? Muzi memanggilnya Kakak.
"Aku tidak pernah menyangka kita bertemu dengan cara seperti ini," kataku dengan mata tertunduk.
"Iya, aku pun sama. Baiklah kita bertemu nanti."
Ia segera berlari mengejar Muzi. Jantung masih berdegup kencang, aku berusaha mengatur napas, tubuh masih sedikit gemetar.
***
"Muzi, kamu di sini?" tanyaku sambil menghampirinya yang sedang berdiri menyendiri menatap ke depan dengan siku lengannya yang ia letakkan di atas pagar dinding dan menyelipkan jari-jemari tangan kanannya di sela-sela jari tangan kirinya. Ia tak menoleh sedikitpun. "Muzi, ada apa denganmu?" lanjutku.
"Tak perlu bertanya keadaanku," jawabnya singkat.
Dengan cepat ia membalikkan badan dan menghampiri motornya yang terparkir tidak jauh darinya. Dan segera duduk menaiki motor lalu memakai helm. Kunci motor ia pasang dan segera menyalakan gas dengan kencang. Debu di jalan berhamburan karena hentakan ban motornya yang berjalan dengan cepat. Ia berlalu pergi.
Aku menatapnya bingung.
Muzi yang selalu tertawa, bercanda bersama. Tak pernah ada raut wajah sedih seperti kemarin. Dan sekarang dengan penuh amarah ia pergi meninggalkanku.
Tempat ini, yang setiap kali kami sedang merasakan sesuatu akan selalu datang ke sini. Dan ia yang selalu tahu keadaanku akan berada di sini juga untuk menemani. Namun sekarang ia berlalu pergi meninggalkanku sendiri.
Hembusan angin yang lembut membelai rambutku yang tergerai panjang sebahu dengan tubuh yang tidak terlalu berisi membuat udara yang dingin seakan menusuk tulang. Aku hanya bisa menarik napas berkali-kali. Udara dingin yang memeluk tubuh ini semakin terasa dingin dan beku. Tanpa sadar bulir bening jatuh membasahi pipi.
Tiba-tiba sesuatu mendarat menyelimuti punggungku yang membuatku tersentak. Harum parfum seketika merebak masuk ke rongga hidung yang sudah sangat mengenal dengan aroma parfum ini. "Kenapa masih di sini?" bisiknya.
"Muzi…." Aku menoleh ke arahnya.
Dengan segera ia meraih tanganku, menuntunku menuju motornya.
"Pakai jaketku dengan benar," pintanya ketika kami sudah berada di dekat motornya.
Kami berdua pergi meninggalkan tempat ini.
Tak ada kata darinya. Sepanjang jalan yang dingin, membuatku juga tak bisa berkata apa-apa.
Kami berhenti di salah satu tempat, yang terlihat jelas sebuah danau yang begitu luas. Dengan hamparan kebun teh yang terlihat hijau dan segar di sisi danau.
"Maafkan atas sikapku tadi," ucapnya dengan tenang.
Aku terdiam.
"Aku sudah membuatmu terluka."
"Ada apa denganmu, Muzi? Hanya ini yang ingin aku tanyakan," ucapku dengan mengamati wajahnya.
Ia terdiam sejenak. Lalu menoleh ke arahku, dengan sesaat ia menatap mataku lalu melepaskan tatapannya kembali.
"Ada apa, Muzi???" tanyaku penasaran.
"Sudahlah tak perlu bahas ini sekarang."
"Ohh, Muzi. Berapa kali aku sudah bertanya padamu?" Aku menatapnya serius. "Muzi, aku nggak mau melihatmu seperti ini. Katakan padaku, Muzi…," pintaku memelas.
"Aku baik-baik saja."
"Muzi…," kataku dengan suara melemah.
***
"Sheryl! Ada seseorang mencarimu tadi," kata Ara--sahabatku yang asli Bandung memiliki paras cantik dan tubuh tinggi semampai, "aku pikir kamu teh nggak ada di sini, jadi dia cuma menitipkan ini untukmu," sambungnya sambil memberikan secarik kertas kepadaku.
Aku langsung membukanya.
Sheryl, ini Sahan. Temui aku di taman, pukul empat sore ini.
Seketika senyum mengembang di bibir.
"Oke, thanks ya, Ra! ucapku sambil melipat kertas itu kembali.
"Iya, sama-sama atuh, Ryl."
"Aku pulang duluan," ucapku pada Ara sembari memasukkan kertas itu ke dalam tasku.
"Buru-buru sekali. Dia itu tadi teh siapa, Ryl?"
"Nanti aku ceritakan!" jawabku sambil berlari menuruni anak tangga meninggalkan Ara yang masih berada di kampus.
"Oh, oke!" teriak Ara.
Aku harus segera sampai di taman. Tunggu aku, Sahan.
Aku menambah kecepatan lariku. Udara yang berhembus kencang mengibaskan rambutku ke belakang. Tak henti kaki ini terus berlari. Tak terasa hamparan rumput nan hijau telah hadir di depan mata. Pohon-pohon rindang yang berdiri tegak memberikan kesejukan area ini.
Seketika aku menghentikan langkah. Terlihat jelas di depan kedua mataku, Sahan.
Ia duduk di kursi taman, bergegas bangun dari duduknya. Melemparkan sebuah senyuman untukku.
Beberapa saat aku terdiam. Senyum mengembang di bibir dengan mata berbinar. Kaki ini melangkah kembali untuk menghampirinya.
"Sahan…," ucapku lirih.
"Iya, Sheryl. Aku di sini," jawabnya sambil meraih tanganku untuk duduk di kursi taman di sampingnya.
Ia membungkukkan badannya dan aku pun sama, kami duduk berdua.
"Sheryl, aku…." ucapnya tertahan.
"Iya, Sahan," jawabku dengan mengernyitkan dahi penuh heran.
Ia menundukkan wajahnya. "Sudah lama aku ingin bertemu denganmu, tapi… keadaan yang tak mengizinkanku," ucapnya sembari menoleh ke arahku.
"Keadaan??" tanyaku semakin bingung, "keadaan yang bagaimana maksudmu?"
"Kamu tahu, Muzi adalah adikku?" tanyanya dengan serius. "Iya, mungkin kamu belum tahu soal ini sebelumnya," tambahnya.
"Iya, kamu benar. Dan ini juga yang ingin aku tanyakan."
"Sheryl, aku tahu tentang perasaannya padamu… dan inilah yang membuatku berat untuk mengatakan perasaanku yang sebenarnya denganmu."
"Perasaan apa???" timpalku semakin penasaran.
Ia menyentuh tanganku yang berada di atas tas yang kuletakkan di pangkuanku dan menggenggamnya dengan erat.
"Sheryl… aku menyukaimu sejak awal kita bertemu," ucapnya dengan tatapan yang tajam.
Mata kami saling bertemu. Jantungku berpacu sangat cepat. Aku berusaha tenang, menarik napas dalam-dalam. Dengan perlahan ia melepaskan genggaman dan tatapannya. Menatap rerumputan yang tumbuh hijau di hadapannya.
"Awalnya aku nggak tahu, kalau dia menyimpan perasaan juga untukmu. Saat itu dengan tiba-tiba dia datang ke kamarku dan langsung mengambil ponsel yang berada di tanganku yang sedang mengetik pesan untukmu. Yaa… dia memang seperti itu, sikapnya yang konyol, ingin mengejekku kalau kakaknya sedang jatuh cinta. Tapi… setelah dia baca tujuan pesannya untukmu, nggak ada senyum lagi di wajahnya."
Aku menarik napas dalam-dalam. Ingatanku kembali ke beberapa hari yang lalu.
"Jadi…???" kataku terputus sambil terus memutar ulang ingatan.
"Walaupun dia nggak berkata langsung kepadaku, tapi aku tahu."
"Sahan… aku benar-benar nggak tahu soal ini," kataku lemas.
Ia tersenyum sambil membuang napas.
"Sheryl, aku tahu dia juga belum bicara jujur tentang perasaannya padamu."
"Iya, tapi aku melihat perubahan sikapnya, terlebih setelah kita bertemu kemarin," jawabku sambil mengingat-ingat dirinya.
"Sheryl, maafkan aku. Tapi aku hanya ingin mengetahui tentang perasaanmu. Apakah kamu juga… menyukaiku?"
Seketika mataku menatap matanya. Jantung kembali berdegup kencang sampai-sampai terasa mau lepas. Aliran darah mengalir begitu deras.
"Sa…han…." Aku menatapnya lamat-lamat, "Sahan, aku…," jawabku tertahan sembari melepaskan tatapanku.
"Sheryl."
Aku kembali menatap wajahnya.
"Sheryl, baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan wajah yang terlihat sedikit bimbang. "Dan aku hanya bisa mendukung apapun yang adikku inginkan," tambahnya.
Aku hanya terdiam.
***
Cuaca hari ini tak begitu cerah seperti biasanya. Aku berada di tempat ini berdiri memandang langit yang terlihat putih berawan. Dengan hembusan angin yang bertiup lembut.
"Sheryl, kamu sudah di sini?" tanya Muzi dengan tiba-tiba.
"Oh, iya, Muzi," jawabku datar. "Apa kabar?" tambahku.
"Baik," jawabnya singkat.
Aku kembali menatap langit. Melihat sekumpulan burung yang terbang bersama-sama.
"Sheryl… boleh aku bicara sesuatu?" tanyanya perlahan.
Aku menoleh. "Oh, iya, silakan," jawabku, "mau bicara apa?" lanjutku dengan senyum ringan.
Ia menatap mataku tajam. Terdiam beberapa saat sambil terus menatap mataku. Aku mulai merasakan detak jantungku berdegup lebih cepat. Aku menelan ludah dengan tetap menatapnya.
"Sheryl… aku… menyukaimu," ucapnya sambil terus menatap mataku. "Maaf sebelumnya, aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi aku masih ragu dan… aku tak mau membuatmu kecewa atas pernyataanku ini," tambahnya.
"Muzi…," jawabku perlahan.
"Oke, Sheryl, kamu nggak perlu bicara apa-apa. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku saja. Dan inilah yang membuatku bersikap aneh terhadapmu akhir-akhir ini," jelasnya. "Maafkan aku."
"Ohh, It's okay, Muzi. Aku senang kamu sudah bicara jujur. Dan aku sangat senang kalau ternyata kamu… menyukai…ku." Aku tersenyum menatapnya.
"Tapi aku nggak akan memaksamu untuk menjadi kekasihku," ujarnya.
"Mm…maksudmu?"
"Nothing," jawabnya sambil menatap langit.
Aku belum bertemu dengan Muzi lagi, semenjak ia menyatakan perasaannya padaku beberapa hari yang lalu. Di kampus ia tak pernah terlihat. Begitu pun dengan Sahan yang entah kemana.
Mataku masih tetap terjaga dengan kedua lengan yang memeluk erat boneka beruang kesayanganku.
Seketika ponsel berdering yang membuatku menoleh untuk segera mengambil dan menerima panggilannya. Terdengar di seberang sana suara Muzi yang memberi tahu untuk bertemu esok hari. Senyum seketika mengembang di bibir dengan rasa cemas yang berkurang. Perlahan mata ini terasa begitu berat dan dengan sangat mudah dipejamkan.
"Hai, Muzi!" sapaku dengan Muzi yang sudah duduk menungguku di sebuah kafe yang telah dipesannya untuk bertemu di sini. "Sudah lama menunggu, ya?" tanyaku sambil menggeser kursi untukku duduk.
"Nggak, aku juga baru sampai. Ini minumanmu sudah aku pesan," jawabnya sambil menyodorkan minuman untukku.
"Thanks," jawabku singkat. Mataku melihat di atas meja kami yang terlihat ada tiga gelas minuman. "Muzi, kamu pesan minuman untuk siapa saja?"
Belum sempat Muzi menjawab tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil Muzi. Aku langsung menoleh ke belakang ke arah suara itu. Sahan?
"Kak, duduklah," jawab Muzi sambil tangan kanannya mempersilakan Sahan duduk.
Sahan terlihat bingung melihatku yang juga berada di sini. Kami sama-sama menatap ke arah Muzi.
"Muzi, ada apa ini?" tanya Sahan sambil duduk di sebelah Muzi.
Muzi tersenyum. Aku masih terdiam menyaksikan mereka berdua.
"Kak, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi," jelasnya. "Kakak menyukai Sheryl, bukan?" tambahnya sambil melirik ke arahku.
"Muzi," ucapku perlahan.
"Kak, aku mohon. Ungkapkanlah perasaan Kakak kepada Sheryl," pinta Muzi.
"Muzi, apa maksudmu?" tanya Sahan dengan heran.
"Maafkan sikapku selama ini yang telah membuat Kakak jadi ragu untuk mendekati Sheryl. Aku baik-baik saja, Kak. Nggak perlu pikirkan aku."
"Nggak, Muzi!" sanggah Sahan.
"Percayalah, Kak," jawab Muzi meyakinkan. "Aku memang menyukai Sheryl, tapi aku yakin ketika tiba saatnya nanti, aku akan menemukan cinta sejatiku," tambahnya dengan senyuman.
"Muzi…," ucap Sahan.
"Dan aku yakin, Sheryl juga pasti menerima Kakak," ujar Muzi. "Sheryl, terimalah Kakakku," pinta Muzi dengan menatapku tajam.
Aku masih terdiam menatap Muzi.
Muzi menoleh ke arah Sahan. "Baiklah, Kak. Aku nggak akan memaksa Kakak untuk bicara sekarang," kata Muzi yang kemudian melirik ke arahku.
"Muzi, aku nggak mau menyakitimu, jangan bertindak seperti ini," jelas Sahan.
"Percaya, Kak. Aku baik-baik saja. Cepatlah, Kak," ucap Muzi meyakinkan.
Sahan menarik napas panjang lalu menatapku tajam. "Sheryl…," ucap Sahan perlahan.
Aku menatap Sahan. Pandangan kami saling bertemu.
"Sheryl, kamu sudah mengetahui semuanya."
Aku masih menatapnya.
Sahan kembali menarik napas. "Hmm… Sheryl, maukah kamu menjadi… kekasihku?" tanya Sahan dengan menatap serius mataku.
"Sahan…," ucapku ragu. Mataku segera beralih menatap Muzi. Muzi mengangguk pelan. Aku kembali menatap Sahan dan menarik napas dalam-dalam. "Hmm… aku… aku juga menyukaimu, Sa…han," kataku perlahan dengan senyuman kecil.
"Dan itu artinya, kamu mau menjadi kekasihku??" tanya Sahan meyakinkan dengan wajah berseri.
"Hm… iya…," jawabku dengan tersipu malu.
"Hahaha." Seketika tawa Muzi pecah. Aku langsung menatap Muzi yang terlihat begitu berbeda.
"Aku turut bahagia, Kak," ujar Muzi sambil menepuk bahu Sahan yang kemudian menatapku untuk beberapa saat.
Di tempat biasa, aku melihat Muzi yang sedang berdiri menatap langit. Perlahan aku menghampirinya. Berdiri mendekat di samping kirinya.
"Muzi," sapaku.
"Iya, Sheryl."
"Kenapa kau buat rencana itu kemarin?"
"Sheryl, aku tahu perasaanmu. Itulah sebabnya aku bilang padamu kalau aku nggak akan memaksamu menjadi kekasihku," katanya sambil menoleh ke arahku lalu menatap ke arah depan kembali. "Dan aku tahu beberapa waktu lalu kamu sedang melihat seseorang di kejauhan sana, seseorang itu adalah… kakakku," tambahnya dengan tetap mengarah ke depan.
Aku terkejut. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Benarkah, Muzi?? Saat itu kamu tahu semua???"
"Iya, Sheryl." jawabnya sambil menatapku. "Aku nggak mau membuat kalian sedih. Kalau aku melihat orang yang aku sayangi bahagia, aku juga turut bahagia." Senyum terukir di bibirnya.
"Muzi…," ucapku dengan mata berbinar.
"Semoga hubungan kalian akan terus bahagia."
"Muzi, aku nggak tahu apa yang harus aku katakan lagi." Aku menatapnya dalam. "Terima kasih, Muzi," kataku dengan air mata yang telah berlinang di pelupuk mata.
"Jangan sedih gitu, dong." ucapnya sambil mengacak rambutku.
"Uuhh, Muzi…," kataku sambil merapikan rambutku yang berantakan.
Ia menatapku dalam. Pandangan kami saling bertemu. Senyum terkembang di bibirnya. Dengan tetap berdiri berdampingan, kami bersama-sama menatap langit yang cerah dan biru di atas sana.
"Dan kamu tahu, Muzi? Harapan indahku juga selalu ada untukmu. Selalu…," ucapku sambil menoleh ke arahnya.
Seketika Muzi pun menoleh, menatap kedua mataku dengan senyum yang terukir di wajahnya.
"Sheryl, kamu sudah di sini?" tanya Muzi dengan tiba-tiba.
"Oh, iya, Muzi," jawabku datar. "Apa kabar?" tambahku.
"Baik," jawabnya singkat.
Aku kembali menatap langit. Melihat sekumpulan burung yang terbang bersama-sama.
"Sheryl… boleh aku bicara sesuatu?" tanyanya perlahan.
Aku menoleh. "Oh, iya, silakan," jawabku, "mau bicara apa?" lanjutku dengan senyum ringan.
Ia menatap mataku tajam. Terdiam beberapa saat sambil terus menatap mataku. Aku mulai merasakan detak jantungku berdegup lebih cepat. Aku menelan ludah dengan tetap menatapnya.
"Sheryl… aku… menyukaimu," ucapnya sambil terus menatap mataku. "Maaf sebelumnya, aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi aku masih ragu dan… aku tak mau membuatmu kecewa atas pernyataanku ini," tambahnya.
"Muzi…," jawabku perlahan.
"Oke, Sheryl, kamu nggak perlu bicara apa-apa. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku saja. Dan inilah yang membuatku bersikap aneh terhadapmu akhir-akhir ini," jelasnya. "Maafkan aku."
"Ohh, It's okay, Muzi. Aku senang kamu sudah bicara jujur. Dan aku sangat senang kalau ternyata kamu… menyukai…ku." Aku tersenyum menatapnya.
"Tapi aku nggak akan memaksamu untuk menjadi kekasihku," ujarnya.
"Mm…maksudmu?"
"Nothing," jawabnya sambil menatap langit.
***
Aku belum bertemu dengan Muzi lagi, semenjak ia menyatakan perasaannya padaku beberapa hari yang lalu. Di kampus ia tak pernah terlihat. Begitu pun dengan Sahan yang entah kemana.
Mataku masih tetap terjaga dengan kedua lengan yang memeluk erat boneka beruang kesayanganku.
Seketika ponsel berdering yang membuatku menoleh untuk segera mengambil dan menerima panggilannya. Terdengar di seberang sana suara Muzi yang memberi tahu untuk bertemu esok hari. Senyum seketika mengembang di bibir dengan rasa cemas yang berkurang. Perlahan mata ini terasa begitu berat dan dengan sangat mudah dipejamkan.
***
"Hai, Muzi!" sapaku dengan Muzi yang sudah duduk menungguku di sebuah kafe yang telah dipesannya untuk bertemu di sini. "Sudah lama menunggu, ya?" tanyaku sambil menggeser kursi untukku duduk.
"Nggak, aku juga baru sampai. Ini minumanmu sudah aku pesan," jawabnya sambil menyodorkan minuman untukku.
"Thanks," jawabku singkat. Mataku melihat di atas meja kami yang terlihat ada tiga gelas minuman. "Muzi, kamu pesan minuman untuk siapa saja?"
Belum sempat Muzi menjawab tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil Muzi. Aku langsung menoleh ke belakang ke arah suara itu. Sahan?
"Kak, duduklah," jawab Muzi sambil tangan kanannya mempersilakan Sahan duduk.
Sahan terlihat bingung melihatku yang juga berada di sini. Kami sama-sama menatap ke arah Muzi.
"Muzi, ada apa ini?" tanya Sahan sambil duduk di sebelah Muzi.
Muzi tersenyum. Aku masih terdiam menyaksikan mereka berdua.
"Kak, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi," jelasnya. "Kakak menyukai Sheryl, bukan?" tambahnya sambil melirik ke arahku.
"Muzi," ucapku perlahan.
"Kak, aku mohon. Ungkapkanlah perasaan Kakak kepada Sheryl," pinta Muzi.
"Muzi, apa maksudmu?" tanya Sahan dengan heran.
"Maafkan sikapku selama ini yang telah membuat Kakak jadi ragu untuk mendekati Sheryl. Aku baik-baik saja, Kak. Nggak perlu pikirkan aku."
"Nggak, Muzi!" sanggah Sahan.
"Percayalah, Kak," jawab Muzi meyakinkan. "Aku memang menyukai Sheryl, tapi aku yakin ketika tiba saatnya nanti, aku akan menemukan cinta sejatiku," tambahnya dengan senyuman.
"Muzi…," ucap Sahan.
"Dan aku yakin, Sheryl juga pasti menerima Kakak," ujar Muzi. "Sheryl, terimalah Kakakku," pinta Muzi dengan menatapku tajam.
Aku masih terdiam menatap Muzi.
Muzi menoleh ke arah Sahan. "Baiklah, Kak. Aku nggak akan memaksa Kakak untuk bicara sekarang," kata Muzi yang kemudian melirik ke arahku.
"Muzi, aku nggak mau menyakitimu, jangan bertindak seperti ini," jelas Sahan.
"Percaya, Kak. Aku baik-baik saja. Cepatlah, Kak," ucap Muzi meyakinkan.
Sahan menarik napas panjang lalu menatapku tajam. "Sheryl…," ucap Sahan perlahan.
Aku menatap Sahan. Pandangan kami saling bertemu.
"Sheryl, kamu sudah mengetahui semuanya."
Aku masih menatapnya.
Sahan kembali menarik napas. "Hmm… Sheryl, maukah kamu menjadi… kekasihku?" tanya Sahan dengan menatap serius mataku.
"Sahan…," ucapku ragu. Mataku segera beralih menatap Muzi. Muzi mengangguk pelan. Aku kembali menatap Sahan dan menarik napas dalam-dalam. "Hmm… aku… aku juga menyukaimu, Sa…han," kataku perlahan dengan senyuman kecil.
"Dan itu artinya, kamu mau menjadi kekasihku??" tanya Sahan meyakinkan dengan wajah berseri.
"Hm… iya…," jawabku dengan tersipu malu.
"Hahaha." Seketika tawa Muzi pecah. Aku langsung menatap Muzi yang terlihat begitu berbeda.
"Aku turut bahagia, Kak," ujar Muzi sambil menepuk bahu Sahan yang kemudian menatapku untuk beberapa saat.
***
Di tempat biasa, aku melihat Muzi yang sedang berdiri menatap langit. Perlahan aku menghampirinya. Berdiri mendekat di samping kirinya.
"Muzi," sapaku.
"Iya, Sheryl."
"Kenapa kau buat rencana itu kemarin?"
"Sheryl, aku tahu perasaanmu. Itulah sebabnya aku bilang padamu kalau aku nggak akan memaksamu menjadi kekasihku," katanya sambil menoleh ke arahku lalu menatap ke arah depan kembali. "Dan aku tahu beberapa waktu lalu kamu sedang melihat seseorang di kejauhan sana, seseorang itu adalah… kakakku," tambahnya dengan tetap mengarah ke depan.
Aku terkejut. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Benarkah, Muzi?? Saat itu kamu tahu semua???"
"Iya, Sheryl." jawabnya sambil menatapku. "Aku nggak mau membuat kalian sedih. Kalau aku melihat orang yang aku sayangi bahagia, aku juga turut bahagia." Senyum terukir di bibirnya.
"Muzi…," ucapku dengan mata berbinar.
"Semoga hubungan kalian akan terus bahagia."
"Muzi, aku nggak tahu apa yang harus aku katakan lagi." Aku menatapnya dalam. "Terima kasih, Muzi," kataku dengan air mata yang telah berlinang di pelupuk mata.
"Jangan sedih gitu, dong." ucapnya sambil mengacak rambutku.
"Uuhh, Muzi…," kataku sambil merapikan rambutku yang berantakan.
Ia menatapku dalam. Pandangan kami saling bertemu. Senyum terkembang di bibirnya. Dengan tetap berdiri berdampingan, kami bersama-sama menatap langit yang cerah dan biru di atas sana.
"Dan kamu tahu, Muzi? Harapan indahku juga selalu ada untukmu. Selalu…," ucapku sambil menoleh ke arahnya.
Seketika Muzi pun menoleh, menatap kedua mataku dengan senyum yang terukir di wajahnya.
***