"Ayo, Dik!" ajak Mas Niko kepadaku.
'Dik' begitulah ia memanggil diriku, tak pernah ia memanggil dengan hanya menyebut namaku saja. Entah karena ia memang terbiasa seperti itu jika memanggil lawan bicaranya atau untuk saling menghormati. Hmmm, entahlah.
Pernah suatu ketika, ia bilang kepadaku kalau ia lebih suka jika aku memanggilnya dengan sebutan 'Mas' daripada 'Kakak'. Yaa, aku juga sadar bahwa ia adalah keturunan Jawa dan sejak saat itu aku selalu memanggilnya dengan sebutan 'Mas'.
Dengan sigap ia meraih tanganku, menyebrang jalan raya ini. Lalu lalang kendaraan dan suara bising menambah riuhnya keadaan.
"Kita naik kendaraan itu ya, Dik," jelas Mas Niko sambil menunjuk salah satu kendaraan umum.
"Iya, Mas," jawabku singkat sambil melangkahkan kaki untuk naik kendaraan umum itu bersamanya.
Akhirnya duduklah kami berdua. Dan aku duduk di sebelah kirinya.
"Dik, Mas ada baju buat Adik, produksi sendiri dari tempat pekerjaan Mas. Tapi ukurannya kira-kira cukup nggak, ya? Karena memang cuma ada ukuran itu."
"O ya!" jawabku dengan gembira juga haru.
"Nanti Mas kasih ke Adik, biar Adik lihat."
"Iya, Mas."
Perjalanan ini membawa kami ke berbagai macam percakapan. Hingga tak terasa kami telah tiba di tempat tujuan kami.
Secangkir kopi dan secangkir teh menemani kami berdua.
"Oh iya, ini bajunya, Dik," ucap Mas Niko sambil mengeluarkan sesuatu yang transparan tercantum merk pakaian itu yang membungkus pakaian berwarna biru muda yang terlihat dari luar, "Mas ingin Adik pakai ini, tapi kalau nggak suka, ya nggak apa-apa, nggak usah dipakai ya, Dik," tambahnya.
Perlahan aku membukanya dan terlihat jelas di depan mataku, ini adalah sebuah kemeja berwarna biru muda. Aku suka sekali kemeja. Dan ini tampak sederhana dan elegan menurutku.
"Wah, Mas… kemejanya bagus banget, aku suka!"
"Benaran kamu suka?"
"Benar, Mas."
Aku terus memandangi kemeja ini.
"Mas… makasih banyak, ya."
"Iya, Dik, sama-sama, semoga ukurannya juga cukup."
Dengan sangat gembira, aku pulang menuju rumah. Sesampainya di rumah aku langsung membuka kemeja itu dan mencobanya. Sungguh, aku sangat suka dengan kemejanya. Warnanya juga lembut dan bahannya sangat nyaman dipakai.
Beberapa kali aku pakai kemeja itu dan selalu teringat akan dirinya.
Hari libur kembali tiba. Aku bersiap-siap untuk bertemu dengannya kembali, mengenakan pakaian yang pernah ia berikan kepadaku.
Detik demi detik pun berlalu. Dan rasa rindu ini akan segera terobati.
"Dik!" sapa Mas Niko ketika bertemu denganku.
"Iya, Mas."
"Udah lama nunggu ya, Dik?"
"Nggak kok, Mas."
Seperti biasa secangkir kopi dan teh menemani kami berdua.
"Dik, kok melamun?" tanya Mas Niko sembari menepuk lenganku.
Seketika aku terkejut, suara dan sentuhannya menyadarkanku dalam lamunan.
"Ehh! Kenapa Mas?"
"Kenapa kok melamun?"
"Oh… nggak apa-apa kok, Mas," jawabku singkat dengan senyum resah.
"Ooh, ya udah. Diminum lagi tuh, Dik."
"Iya, Mas."
Aku masih menyembunyikan semua hal tentang itu. Hal yang sungguh membuatku merasa tak berdaya.
Rani, pikirkan baik-baik tentang hal itu, kata-kata itu yang selalu bermain di pikiranku, pesan penting orangtuaku untuk hubunganku ini.
Mas Niko menuangkan kembali teh ke dalam cangkirku. Aku menatapnya dalam-dalam, bukan karena teh yang sedang dituangnya kembali, yang setengah dari teh di cangkir itu telah sukses menjalankan tugasnya untuk menghilangkan dahagaku. Tapi melihatnya di hadapanku, aku merasa begitu tenang. Entah karena apa?
Pesonanya memang memikat hatiku sejak aku mengenalnya. Ketika itu, saat pertama kali aku bertemu dengannya, jalan bersama, bersenda gurau. Semuanya sungguh membuatku terhanyut, aku jatuh hati padanya.
Saat ini, dengan penuh semangat ia bercerita tentang pengalamannya saat bekerja sama dengan seseorang untuk membangun sebuah usaha. Tapi aku tak benar-benar mendengarkannya, karena aku telah membiarkan hal tentang itu larut dalam perasaanku, bercampur menjadi sebuah kesatuan yang telah menang memenuhi pikiranku.
"Mas… aku mau… mau ngomong sesuatu."
"Iya, Dik, mau ngomong apa? ngomong aja."
Masih aku tak kuasa untuk berbicara, air bening mulai jatuh membasahi pipiku.
Adik kenapa??? Kok, nangis??" tanya Mas Niko penuh heran.
"Aku… aku…."
Air mata ini terus mengalir, aku mencoba mengusapnya dengan cepat, tapi lagi dan lagi pipi ini basah karenanya.
"Dik, ada apa??? Jangan nangis, Dik. Ada apa sebenarnya??" desak Mas Niko.
"Mmm… maafkan aku, Mas… aku tak bisa melanjutkan hubungan kita, orangtuaku tak setuju dengan hubungan ini."
Sambil aku terus mengusap air mataku.
"Ooh…," jawabnya dengan nada melemah.
Aku menjelaskan alasan mengapa orangtuaku tak setuju.
Tak ada semangat di dirinya, ia lalu melanjutkan perkataannya, "Ya udah, kalau itu memang keputusan Adik dan orangtua Adik, Mas nggak bisa maksa… dari sisi Mas juga orangtua Mas menginginkan yang Jawa juga."
"Tapi… jujur Mas, aku masih sayang banget sama Mas."
"Sama, Dik."
Air mata ini masih terus membasahi pipiku. Dan terasa jari Mas Niko mendarat di pipiku. Mas Niko mengusap air mataku.
"Udah, jangan nangis lagi, ya. Mas jadi ikutan sedih, Mas paling nggak bisa lihat perempuan nangis." Sambil terus mengusap air mataku.
Aku hanya terdiam. Dan menatapnya dalam-dalam.
Terlihat Mas Niko sedang berpikir jauh, pikirannya menerawang.
"Iya, jadi ingat, saat kita ketemu, Adik menghampiri Mas, mengikuti Mas dari belakang, menemani Mas walaupun Adik cuma diam aja, nggak berbuat apa-apa…."
Ada senyum tersungging di bibirnya.
Tapi aku lihat air bening menetes membasahi pipinya. Aku terkejut, "Mas!?"
Aku mencoba meraihnya. "Mas, jangan nangis, maafkan aku Mas, aku nggak akan nangis lagi," ucapku lirih.
Aku mengusap air matanya yang telah membasahi pipinya.
"Mas, jangan nangis."
Ia meraih tanganku yang sedang mengusap pipinya.
"Dik…." Suaranya semakin melemah. "Ahh, ya udahlah, Dik." Sambil terus mengedipkan matanya berusaha untuk menghilangkan air mata dan kesedihannya.
"Maafkan Mas, ya?"
"Aku yang minta maaf, Mas."
Mas Niko terdiam sejenak dengan raut wajah yang sangat terlihat dipenuhi dengan pikiran.
"Hmmmm… ya udah, kita sekarang berteman baik aja. Ya, Dik?"
Aku masih belum bisa menjawab, pikiranku campur aduk, kalau masih bisa aku memilih, aku tak ingin melewati semua ini. Dan dengan sangat berat aku harus mengatakan 'Iya'.
"Iya, Mas… makasih, masih mau menjadi teman aku."
Cuaca di luar seakan sama dengan perasaanku. Awan hitam mulai datang dan siap meneteskan airnya. Aku berusaha menahan air mata ini. Melawan kesedihan yang telah merajai diriku.
"Dik, kayaknya mau hujan, kita pulang, yuk!"
"Iya, Mas, udah gelap banget."
Aku pun bersiap-siap dan Mas Niko menyalakan motornya. Dengan cepat kami melaju, namun seketika hujan turun dengan derasnya. Langsung Mas Niko membawa motornya menepi untuk berteduh.
"Yah, hujan, Dik."
"Iya."
"Kita tunggu hujan reda dulu, ya?"
"Iya, Mas."
Hujan yang turun disertai dengan petir. Kilatnya terlihat jelas di langit, sampai terlihat dekat dengan kami.
"Duh," ucap Mas Niko sambil memalingkan wajahnya ketika cahaya kilat terlihat dekat. "Dik, Adik di sini deh, pindah. Biar Mas di situ, biar Adik nggak terlalu kena kilatnya," pinta Mas Niko kepadaku.
"Iya."
Kami kemudian berganti posisi. Sekarang Mas Niko berada di sebelah kiriku.
Hujan yang membasahi bumi, membentuk aliran air di sepanjang jalan. Kilat masih terus menemani hujan.
Mas Niko yang sedang berada di sampingku, yang hanya tinggal beberapa waktu saja akan menghilang dari sisiku. Hanya menunggu waktu yang aku harapkan berjalan lambat, memberikan izinku untuk bisa merasakan dirinya bersamaku, sekali lagi.
Udara dingin memeluk tubuh ini. Seperti hatiku yang sedang membeku.
Tetesan air hujan mulai berkurang.
"Dik, jalan lagi, yuk!"
"Iya Mas, udah agak reda."
Kami melanjutkan perjalanan kembali. Aku mulai memegangnya lagi dari belakang dan sedikit memeluk dirinya dengan penuh harap pelukan ini akan kembali aku dapatkan.
Perjalanan ini sunguh membuatku beku tak berdaya. Hanya saat ini aku masih bisa melihatnya di hadapanku, sudah cukup membuatku tenang.
Hingga tak terasa, perjalanan yang memakan banyak waktu, terasa sangat singkat bagiku saat ini. Lalu aku turun dari motornya.
"Dik, Mas cuma bisa antar kamu sampai sini aja, ya."
"Iya, nggak apa-apa."
Aku tertunduk pilu.
"Adik jaga diri, ya. Maafkan semua kesalahan Mas."
Berusaha kuat aku menahan, perlahan aku tatap dirinya.
"Iya, sama-sama, Mas. Aku juga minta maaf."
Sangat dalam aku menatap dirinya. Wajah yang selama ini menghiasi hari-hariku, akan menghilang.
"Ya udah, Adik hati-hati. Mas pamit ya, Dik."
"Iya, Mas."
Ia mulai mengendalikan motornya balik arah. Dan aku mulai melangkahkan kaki, sangat berat aku rasa, tak ada tenaga, tubuhku terasa lemah dan kaku. Dengan penuh aku berharap waktu berhenti agar aku bisa terus melihat dan bersamanya lagi.
Aku menoleh ke belakang, dan tak aku dapati dirinya. Jauh sudah pergi, menghilang dalam pandangan yang juga menghilang dari sisiku. Ia telah pergi dengan membawa kisah cinta kita berdua.
Dan masih aku bertahan melawan kesedihan ini.
Biar aku simpan semua dalam ingatan dan kenangan cinta kita. Tak akan pernah aku lupakan semua yang pernah ada…
***
*Smile and Love