"Hai, sudah datang kamu, Vina. Belum dibuka, ya?"
Seperti biasa, Intan temanku menyapa di pagi hari saat aku sudah lebih dulu sampai di tempat yang sama untuk mengais rezeki.
"Iya, belum dibuka nih," jawabku padanya dengan tetap duduk sambil menunggu pintu gerbang dibuka.
"Huhft, kebiasaan deh, lama banget bukanya," kata Intan sambil mendekatiku untuk duduk di sampingku.
Detik demi detik pun berlalu. Matahari terus menampakkan sinarnya. Teriknya sang mentari membuat udara semakin panas. Kulitku pun terasa terbakar oleh sinarnya.
"Huhft … panaass … lama banget sih, cepat dong buka!?" Intan pun mengeluh saat sinar mentari ikut menyentuh kulitnya.
Aku hanya terdiam, tersenyum menatapnya. Satu per satu temanku yang lain pun datang. Dan dengan pertanyaan yang sama, karena pintu gerbang belum juga dibuka. Kami pun semua menunggu. Dengan tetap tenang, aku masih duduk dengan penantian ini. Walau di dalam hati aku merasa gelisah, karena kebiasaan burukku yang selalu merasa khawatir tentang apa yang akan terjadi nanti. Entah mengapa aku selalu seperti ini.
Intan sudah tak sabar, ia pun berjalan menuju tempat teman-teman yang lain berkumpul. Dan tak lama kemudian, datang seseorang yang sudah diberi tugas untuk memegang kunci.
Sambil berjalan tergesa-gesa ia berkata, "Aduh, maaf, ya. Sudah lama menunggu, ya?"
Pintu gerbang pun dibuka.
"Iya, kebiasaan, lama banget bukanya!" jawab Intan dengan jengkel.
"Iya maaf, karena aku juga banyak tugas yang lain."
Kami pun semua masuk. Memasuki ruangannya masing-masing. Huhft …saat-saat menegangkan akan dimulai, itulah perasaan yang selalu aku rasa. Entah sampai kapan akan berakhir. Dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu ada di kepalaku. Bagaimana ya, nanti? Apa yang akan terjadi nanti?
Dengan langkah kecilku menuju meja, aku letakkan tasku. Aku bersiap-siap untuk memulai pekerjaanku. Mengambil langkah awal untuk aku kerjakan lebih dulu sebelum memulai yang lainnya. Aku kerjakan dengan semampuku. Walau tidak lepas dari perasaan khawatir dan rasa bingung yang selalu ada dalam diriku.
"Vin, tolong tuliskan!"
Terdengar suara Intan sebagai kepala bagianku memberi perintah kepadaku.
"Iya," jawabku walau dengan tanda tanya dalam hati, lalu aku bertanya, "Tulis di mana? Untuk ditempel?"
Karena yang aku tahu menulis seperti yang ia perintahkan itu, ada banyak macamnya, tulis di buku tulis, tulis di atas kertas kecil untuk memberi kode untuk kemudian ditempel atau tulis di catatan lain.
Kemudian ia menjawab, "Iya, ditempel."
"Oh, iya baik."
Aku mulai menggoreskan spidol di atas kertas putih, kemudian aku tempel.
Kriiiing!
Telepon berdering, yang akhir-akhir ini selalu aku yang menerima, walaupun tujuannya bukan untukku, tapi untuk kepala bagianku. Aku tahu ini adalah bagian dari tugasku. Tapi aku merasa, ia seperti tidak bersemangat jika ada telepon. Hingga telepon itu dibiarkan terus berdering jika aku tidak mengangkatnya. Setelah aku menerima telepon itu dan kemudian ia berbicara kepada penelepon itu.
"Vin, barang kode ini masih ada, ya?" tanyanya kepadaku.
"Tidak ada … kan, sudah habis," jawabku.
"Di catatan masih ada satu lagi, Vin."
Aku tetap menjawab, "Kan, sudah kosong."
Tapi ia tidak percaya. Ia terus mencari barang itu.
"Di mana, ya?"
Setelah itu ia kembali ke meja kerjanya. Aku membantu mencari. Akhirnya aku menuju mejanya dan mengambil buku catatan itu. Dan aku temukan di sini ada catatan, kalau satu barang itu sudah keluar, sehingga semuanya sudah kosong. Lalu aku beri tahu.
"Nih ada satu, berarti sudah kosong, kan?"
"Oh iya, ya? aku tidak melihat ke bagian itu."
Oh tapi setahuku, bukankah harus dilihat semua dan diusahakan agar tidak terlewat satu pun. Tapi ya syukurlah, akhirnya itu bisa ditemukan, karena kalau tidak, nanti bisa-bisa aku yang disalahkan, pikirku sambil berlalu untuk mengerjakan tugasku lagi.
Hari pun berganti.
Kriiing!
Telepon berdering, kali ini ditujukan untuk bagian lain. Aku memberitahu ada telepon dan ingin berbicara kepada kepala bagian itu. Dengan langkah cepat, aku mulai menaiki anak tangga satu per satu untuk memberitahunya.
"Mas, ada telepon."
Tapi ia tidak percaya, justru ia tertawa atas pemberitahuanku ini, karena menurutnya, tidak mungkin ada telepon dari alamat sana untuknya. Hingga akhirnya aku kembali turun untuk menerima telepon itu dan menanyakan lagi. Tapi penelepon itu tetap menjawab dengan alamat yang sama dan ingin berbicara kepada kepala bagian itu. Akhirnya aku kembali menaiki anak tangga dan memberitahu padanya. Akhirnya ia mau turun dan menerima telepon itu. Huhft, sabar … sabar …, ucapku dalam hati setiap kali ada hal yang tidak menyenangkan bagiku.
Hari pun kembali berganti. Kini terjadi sesuatu hal. Kepala bagianku marah-marah kepada rekan kerjaku. Ia memang masih sangat baru, tapi Intan berterus terang kepadaku, kalau ia tidak suka padanya. Tapi yang aku tangkap, sepertinya Intan bukan cuma tidak suka padanya, tapi denganku juga. Kata-kata yang keluar karena emosi, secara tidak langsung seperti untuk diriku juga. Karena ia sering sekali mengucapkan itu kepadaku dahulu. Hingga ia juga memarahiku.
"Kenapa ini belum selesai juga?!!" tanyanya dengan keras.
"Tadi, kan, aku bantu di depan, jadi yang ini aku tinggal dulu," jawabku padanya.
Padahal tadi di depan aku berdua dengannya. Aku cuma bisa pasrah. Di samping aku tahu, ia sedang pusing sehingga terbawa semuanya. Walau aku sedikit tidak bisa terima, karena bagiku tak perlu sampai marah-marah seperti itu kepada anak baru. Hingga esok harinya, rekan kerja baruku itu tidak masuk lagi.
Hari demi hari aku lalui. Dengan begitu terus setiap harinya, bersama kepala bagianku yang kadang membuat aku merasa kecewa dan pekerjaan yang cukup berat bagiku. Dengan rasa semangat yang menurun. Hingga aku ingin mengambil sebuah keputusan. Aku berusaha mengimbangi perasaanku dengan logika. Kadang logika bisa menang, tapi kadang perasaan lebih terasa. Begitu terus, aku berusaha meredam perasaanku. Tapi perasaanku lebih kuat, hingga aku terbawa dengan perasaanku sendiri. Hingga aku yakin untuk mengambil sebuah keputusan, aku ingin keluar. Ya, begitulah, akhirnya aku ambil sebuah keputusan.
"O ya, aku cuma sampai akhir bulan ini saja, aku tidak teruskan lagi," ucapku pada Intan.
"Oh, tidak diteruskan, kenapa?"
Aku menjawab dengan alasanku.
Hingga akhir bulan pun tiba. Dan inilah hari, di mana esok aku sudah tidak datang lagi ke sini.
Selesailah sudah … Dan ku lewati hari-hari tanpa itu.
Tapi aku merasa agak menyesal, aku telah melepas begitu saja. Hingga kehilangan semua itu. Aku merasa seperti sudah sangat salah mengambil langkah ini. Dan rasa itu masih belum selesai juga sampai saat ini. Aku merasa kecewa dengan diriku sendiri. Mengapa aku seperti ini? Andai waktu dapat diputar kembali, aku ingin kembali memperbaiki semuanya. Tapi itu semua tidak mungkin. Dan kini … Entah bagaimana??? Dan akan di mana??? Aku tidak tahu …
******
Hmmm.. Semoga bermanfaat yaa..
*Smile and Love